Revisi PE Sawit, Jaga Momentum dan Dongkrak Kinerja

canalberita.com–Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimmi), Bernard Riedo, menyatakan, penetapan besaran pungutan ekspor atas produk minyak sawit mentah atau CPO akan menjaga kinerja industri, terlebih di tengah momentum kenaikan harga yang terus terkoreksi. Selain itu, kinerja ekspor pun akan ikut terdongkrak.

Hal itu diungkapkan Bernard menyusul kebijakan pemerintah menyesuaikan tarif pungutan ekspor (PE) melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2021 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Isi aturan yakni perubahan batas pengenaan tarif progresif dari semula pada harga CPO US$670 per ton menjadi US$750 per ton.

Mekanismenya, tarif pungutan sebesar US$55 per ton saat harga CPO mencapai US$750 per ton. Sedangkan pungutan bersifat progresif sebesar US$20 per ton untuk CPO dan US$16 per ton khusus produk turunan saat harga menyentuh US$1.000 per ton.

“Kebijakan ini mendorong terwujudnya hilirisasi,” kata Bernard Riedo melalui keterangan tertulis, pada Rabu (7/7/2021). Ia Berharap nilai pungutan ekspor dapat lebih rendah lagi untuk pengenaan produk hilir.

“Levy yang rendah akan mendorong daya saing produk kita, terutama untuk destinasi yang membutuhkan produk langsung konsumsi. Dengan demikian, daya saing produk minyak goreng kemasan tujuan ekspor kita lebih bersaing daripada Malaysia,” ungkap Bernard.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengutarakan kebijakan pemerintah dapat meningkatkan daya saing produk sawit di pasar global.

Dengan tarif yang disesuaikan itu, para pengusaha dapat meningkatkan investasi untuk melakukan ekspansi. “Ini penting saat pemerintah ingin pemulihan ekonomi berjalan lebih cepat,” kata Joko beberapa waktu lalu.

Kebijakan penyesuaian pungutan ekspor diberlakukan pada saat tepat. Memasuki tahun 2021, harga CPO terus terkerek naik hingga menembus US$1.008 per ton pada Mei lalu, tertinggi dalam rentang satu dekade. Hingga saat ini, harga CPO secara global berkisar pada rentang US$870 – US$900 per ton.

Melonjaknya harga CPO, menyebabkan kas yang masuk melalui pungutan ekspor pun ikut berlipat. Hal ini diakui pemerintah yang menyatakan dana kelolaan pungutan ekspor Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menggemuk pada tahun ini.

Menurut Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud, dana pungutan ekspor naik dari kisaran Rp 1,5 triliun – Rp 2 triliun per bulan menjadi Rp 3 triliun.

“Yang pasti setiap bulan paling tidak BPDP Kelapa Sawit bisa menerima kalau tidak salah Rp 1,5 triliun – Rp 2 triliun per bulan. Kalau gak salah, sekarang bisa sampai Rp 3 triliun karena harga sedang tinggi, sehingga tentu saja dengan harga yang tinggi penyerapan pungutan ekspor akan semakin tinggi,” paparnya.

Ada pun kas yang masuk dari pungutan ekspor selanjutnya dikelola BPDPKS untuk program pengembangan layanan dan program pembangunan industri sawit nasional. Program itu antara lain mencakup perbaikan produktivitas di sektor hulu melalui peremajaan perkebunan kelapa sawit dan penciptaan pasar domestik melalui dukungan mandatori biodiesel.

Makin Kokoh

Di sisi lain, kebijakan pemerintah inipun menambah kuat sentimen positif bagi emiten sawit. Sebelumnya, dengan program hilirisasi serta gencarnya proyek biodiesel yang disokong dana kelolaan BPDPKS, industri sawit semakin kokoh menggarap permintaan domestik.

Hal ini sebagaimana diungkapkan Analis Senior CSA Research Reza Priyambada. “Selain harga meningkat, pemerintah juga dorong produksi B30, dengan dua hal seperti ini peluang cuan. Itu adalah faktor yang pengaruhi industri secara keseluruhan,” ujarnya.

Terlebih lagi, jika menengok kinerja emiten sawit selama setahun belakangan. Mayoritas emiten memetik kinerja positif meskipun di tengah gejolak pandemi.

“Kalau lihat di masa pandemi, sepanjang 2020, sejumlah emiten sawit mencatatkan kinerja cukup positif walau dari pertumbuhan ada penurunan dari 2018-2020, tapi penurunan ini angkanya masih positif, mereka masih bisa peroleh laba dan ada peningkatan dari sisi pendapatan seiring meningkatnya harga CPO sepanjang 2020 untuk beberapa emiten,” jelas Reza.

Sumber: BeritaSatu.com