Mengenal Tiga Patokan Referensi Harga TBS, Petani Sawit Pilih Mana?

JAKARTA – Terkait terbitnya PMK Nomor 155/2022, APKASINDO mengapresiasi Menteri Keuangan atas penghapusan Pungutan Ekspor (PE) sampai batas Waktu yang ditentukan oleh Pemerintah. Namun perlu dicatat bahwa anjloknya harga TBS petani tidak semata tunggal karena PE (pungutan ekspor), ada beberapa faktor lagi yang justru lebih menekan, terutama patokan harga CPO Indonesia.

Penghapusan PE ini merupakan salah satu buah dari perjalanan Panjang (rally apkasindo), dari pertemuan Batam dengan Ketua Dewan Pembinan DPP APKASINDO, Jend TNI (Pur) Dr Moeldoko, lanjut Rakor di KSP (Kantor Staf Presiden) yang diikuti semua stakeholder sawit dan kementerian terkait, lanjut ke Kementerian Perdagangan, ke Kementerian Pertanian, ke BPDPKS dan difinalisasi di Kantor Kemenko MARVES. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah untuk sekelas organisasi petani sawit.

Apa Itu DMO, DPO FO, BK dan PE?

DMO adalah domestic market obligation yang mana setiap produsen sawit wajib memenuhi stok dalam negeri sesuai ketentuan pemerintah (1:7). Sedangkan DPO (domestic price obiligation) adalah harga dari DMO sesuai kebijakan pemerintah (Rp. 10.700/kg).

Flush Out (FO) adalah program percepatan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya, dimana jika FO (US$ 200/ton) adalah pilihan jika tidak memenuhi DMO dan DPO.

Bea Keluar (BK) adalah pajak yang disetor ke kas negara (US$ 288/ton) dan Pungutan Ekspor (PE) adalah pungutan yang dikenakan atas CPO dan turunan CPO tujuan ekspor (US$ 200/ton), pungutan ini dilakukan oleh BPDPKS dan bukan merupakan pendapatan untuk kas negara alias Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

DMO dan DPO itu adalah sepaket dalam operasionalnya, dengan prinsip untuk memastikan kecukupan CPO dalam negeri untuk keperluan terkhusus minyak goreng sawit (MGS) untuk rakyat.

Perlu diketahui bahwa bahwa stok CPO Indonesia per Awal Juli setelah dikurangi konsumsi domestik bulan Juli maka sisanya 10,9 juta ton. Normalnya stok dalam negeri 3-4 juta ton/bulan, berarti sudah 300% diatas normal.

Sesuai filosofinya, seharusnya regulasi DMO dan DPO otomatis sudah tidak perlu lagi, apalagi harga CPO dalam negeri saat ini malah jauh dibawah DPO. Namun faktanya DMO dan DPO meskipun sudah tidak berlaku lagi, selalu masuk dalam faktor pengurang harga CPO saat tender di PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN).

Untuk FO, menurut regulasi PMK 102/2022, FO berlaku sampai akhir Juni 2022, setelah itu tidak adalagi FO. Jadi bulan Juli (1-31 Juli) adalah pelaksanaan ekspor bagi yang sudah mengambil jalur FO. Namun faktanya sama dengan DMO dan DPO, masih tetap FO digunakan sebagai faktor pengurang harga CPO di KPBN sampai dengan 15 Juli lalu dan gawatnya harga KPBN ini menjadi rujukan harga TBS Petani sesuai Permentan 01/2018, tentu wajar saja harga TBS Petani semakin anjlok.

Bagaimana Dampak Penghapusan PE (US$ 200) Terhadap harga TBS?

Dalam hal harga CPO Indonesia, ada 3 patokan yang menjadi rujukan, pertama harga referensi Kementerian Perdagangan, kedua harga Roterdam dan ketiga adalah harga tender KPBN. Simulasi dari ketiga opsi tersebut adalah  (1) Jika harga TBS Petani berpatokan ke harga Referensi Kementerian Perdaganan $1.615 (harga referensi Kemendag bulan Juli) ?. Jika dikurang ke beban-beban (FO dan BK = US$ 488/ton CPO) maka harga CPO Indonesia adalah Rp 16.900 dan harga TBS Petani Rp 3.380/kg.

Sebelum penghapusan PE harga TBS petani harusnya Rp 2.750. (2) Jika Harga TBS Petani berpatokan ke harga CPO Roterdam ?. Diketahui per tgl 13 Juli lalu harga CPO Roterdam US$ 1.205/ton dikurang beban-beban US$ 488 (FO+BK) = $717, yang artinya harga CPO Indonesia menjadi Rp10.755/kg yang jika dikonversikan ke harga TBS kami Petani berarti Rp2.150/kg.

Sementara harga TBS sebelum PE dihapus adalah Rp1.500/kg. (3) Dan bagaimana pula jika harga TBS sawit Petani  berpatokan kepada harga KPBN?. Diketahui bahwa pengapusan PE telah mendongkrak harga CPO domestik sebesar Rp 3.000/kg. Jika harga CPO versi KPBN Rp8.000/kg, jika dihitung dampak penghapusan PE (US$ 200) maka harga CPO akan menjadi Rp 11.000/kg, artinya harga TBS kami petani minimum jatuh diharga Rp 2.200/kg TBS. Harga TBS petani sebelum PE di nol kan adalah seharusnya Rp 1.600/kg.

Berapa Harga TBS Petani jika DMO, DPO dan FO dihapus?

Dengan tidak berlakunya DMO, DPO dan FO, jika merujuk ke harga referensi Kemendag, seharusnya harga TBS petani per tanggal 1 Juli – 16 Juli sudah Rp3.380/kg (nilai tukar $15.000). Dan Per tanggal 18 Juli, sejak berlakunya Permenkeu Nomor 115/2022, harga TBS petani berada diangka Rp3.980/kg. Pun demikian harga TBS Petani sawit Indonesia masih dibawah harga TBS petani Malaysia.

Dengan jauhnya selisih harga jika patokan rujukannya adalah harga referensi Kemendag (sebagaimana diatur dalam Permendag No.55/2015), maka dapat disimpulkan bahwa selama ini sudah terjadi “kesengajaan” mengkaburkan dasar rujukan harga CPO Indonesia. Pengkaburan ini diumulai dari Permentan 01/2018 yang mewajibkan harga rujukan TBS Petani adalah harga KPBN.

Pemerintah saja (Kementerian Keuangan) selama ini tidak menggunakan harga tender KPBN saat menetapkan besaran BK dan PE, tapi kenapa kami Petani disuruh memakai harga KPBN sebagai rujukan harga TBS sebagaimana tertuang dalam Permentan 2018 ?. Aneh kan?. Jawabannya supaya harga TBS kami dapat dibeli murah.

Apa yang seharusnya jadi patokan harga CPO Indonesia ? Harga Referensi Kemendag sesuai Permendag Nomor 55/2015 kah?, atau Harga Roterdam? atau harga hasil Tender KPBN?

Jawabannya adalah : sebagai negara hukum dan negara terbesar penghasil CPO maka semuanya harus patuh kepada Permendag yang sudah menghasilkan harga referensi. Jadi jangan lagi “tergantung apa tujuannya”. Harga Referensi Permendag tersebut sudah cukup adil, karena sudah mengakomodir 20% harga dari Roterdam, 20% harga bursa Malaysia dan 60% harga bursa Indonesia. Jadi cukup mewakili.

Indonesia Harus Memilih Rujukan Harga CPO:

Harga Patokan Ekspor (HPE) itu seharusnya tidak perlu mengacu pada harga KLCE (Kuala Lumpur Commodity Exchange) dan Rotterdam, seharusnya berpatokan kepada harga Referensi Kementerian Perdagangan (Permendag 55/2015) sebagai Price Setter bagi Sawit Indonesia dan dunia harus melirik harga ini. Apapun regulasi yang menghalangi menuju “Satu Rujukan” harus segera di evaluasi.

Rujukan ini akan menyelamatkan 17 juta petani sawit, pekerja sawit  dan industry sawit Indonesia. Karena dengan adanya kepastian rujukan, maka PKS-PKS tidak semena-mena lagi membeli TBS kami petani dan PKS yang tanpa industry hilir mendapat kepastian dan transparansi harga jual CPO nya ke Refinary dan eksportir mendapatkan haknya.

Oleh karena itu kami Petani sawit berharap Pak Presiden untuk menegaskan harga patokan CPO Indonesia adalah harga referensi Kemendag, supaya semua berbenah. Namun penetapan harga referensi Kemendag tersebut kedepannya idealnya 1 kali per 2 minggu bukan 1 kali sebulan, sehingga lebih ter up-date.

Indonesia berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan hulu-hilir sawit sebagai penghasil devisa terbesar negara ini. Untuk mencapai tujuan ini maka sangat urgen segera dibentuk Badan Sawit Indonesia (BADASI) yang kedudukannya langsung dibawah Presiden. Semua regulasi terkait sawit, termasuk ketersediaan dan keterjangkauan MGS untuk rakyat, harus diputuskan oleh badan ini dengan konsep satu pintu, satu jendela dan satu data.

Dengan demikian semua kepentingan, baik pemerintah, korporasi dan petani akan terakomodir melalui BADASI. Memang untuk data produksi sudah sangat terbantu dengan adanya GAPKI dan pencatatan ekspor sudah jauh lebih baik dengan berdirinya BPDPKS. Sejatinya tidak semua bisa langsung terselesaikan, namun “beberapa lebih baik dari pada rencana”. Dengan demikian, patokan harga mana yang anda pilih?. (*)

Sumber: infosawit.com