Pengelolaan Gambut Terbaik, Solusi Bagi Kebun Sawit Petani di Areal Gambut

CANALBERITA.COM – Sebanyak 209 pekebun swadaya yang tergabung dalam Koperasi Beringin Jaya, berlokasi di Desa Kota Ringin, Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, bersepakat untuk secara proaktif mengatasi tantangan terkait penanaman sawit di lahan gambut. Komitmen tersebut bukanlah pilihan yang mudah bagi Koperasi Beringin Jaya yang mengelola sekitar 372 hektar, di mana 97% di antaranya merupakan lahan gambut yang membutuhkan biaya lebih tinggi untuk pengelolaannya.

Total luas lahan perkebunan sawit pekebun swadaya Koperasi Beringin Jaya terletak di luar kawasan hutan, dan Badri, salah satu pengurus Koperasi Beringin Jaya menyatakan bahwa kelembagaan koperasi tersebut resmi berdiri pada tahun 2010, bersamaan dengan penyerahan kebun sawit dari proyek Siak – 2 kepada masyarakat.

Kepala Proyek Akuntabilitas Tata Guna Lahan WRI, Bukti Bagja, mengatakan keberadaan pekebun sawit swadaya nyaris tak terlihat karena masih kurangnya pendataan dari pemerintah dan hingga saat ini, data tersebut masih sangat minim. Sekalipun petani telah mendapatkan manfaat ekonomi sebagai bagian dari dampak positif perkebunan sawit swadaya di lahan gambut melalui budidaya kelapa sawit, namun masih ada kemungkinan dampak negatif budidaya sawit terhadap lingkungan karena pengelolaan yang tidak selaras dengan Praktik Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices/GAP).

Mendukung budidaya kelapa sawit di lahan gambut oleh petani sawit bukan pilihan ideal, namun di lapangan sudah terdapat 2,4 juta hektar sawit yang ada di lahan gambut sehingga keseimbangan antara konservasi dan pembangunan berkelanjutan sangat penting. “Perlu penanganan yang bijak, karena jutaan orang tinggal dan menggantungkan mata pencaharian di lahan gambut dan kelapa sawit adalah salah satu dari sedikit tanaman yang dapat tumbuh dengan sukses/berhasil di lahan gambut,” kata Bagja.

Lantas, dampak lingkungan dari perkebunan sawit di lahan gambut harus dikurangi seperti kebakaran yang kerap terjadi setiap tahun dan terjadinya subsidensi. Tentu saja guna mendorong petani menerapkan praktik terbaik sesuai P&C RSPO bukan langkah yang mudah, tutur Bukti Bagja, “biaya yang relatif lebih tinggi untuk pembangunan sarana dan prasarana perbaikan pengelolaan gambut masih menjadi salah satu kendala, terutama bagi petani kecil.”

Kemudian perlu kehatian-hatian ekstra dalam analisis kesesuaian lahan perkebunan dengan peraturan tata ruang. Keterhubungan areal gambut dengan areal sekitarnya meningkatkan risiko terkena dampak dari lingkungan sekitar, misalnya kebanjiran atau kekeringan. “Pekebun swadaya yang cenderung skeptis dan pemahaman yang masih terbatas, serta lingkungan yang rentan bahaya kebakaran dan bencana lainnya,” kata  Bagja.

Oleh karena itu, mendorong petani sawit menerapkan praktik budidaya terbaik, dilakukan dengan pemilihan lokasi secara seksama, yakni pemeriksaan kedalaman gambut, memastikan kesesuaian ruang dan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan Instansi Terkait. Kemudian,  menerapkan komunikasi dan kerja sama dengan para pemangku kepentingan, terutama pemilik/pengelola lahan di sekitar lokasi, melakukan edukasi bersama Pemerintah Daerah untuk membuat komitmen pekebun, serta investasi nyata dalam sarana dan prasarana seperti pengelolaan air, pencegahan kebakaran, dan fasilitas pengumpulan, sangat dibutuhkan.

Bagja mengakui bahwa, biaya pembangunan kapasitas kelompok praktik pertanian berkelanjutan untuk mencapai sertifikasi termasuk pengeluaran terbesar bagi petani kecil. Namun demikian kendati ke depannya akan tetap menguntungkan “selama kelompok petani dapat terus mematuhi standar sertifikasi dan menerapkan Praktik Pengelolaan Terbaik RSPO, mereka akan memiliki akses yang lebih besar ke pasar internasional,” katanya.

(sumber: infosawit.com)