Terkait Kemitraan, RSPO dan Perusahaan Sawit Perlu Lakukan Evaluasi
JAKARTA,CanalBerita – Diungkapkan Kepala Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Marselinus Andri, permasalahan kemitraan di perkebunan sawit juga membawa konsekuensi pada meluasnya areal deforestasi hutan dan lahan serta alih fungsi lahan garapan masyarakat menjadi perkebunan kelapa sawit, dan kemitraan dengan masyarakat menjadi praktek untuk melegitimasi para pengusaha untuk melakukan perluasan dan ekspansi baru di wilayah desa.
Disisi lain hilangnya lahan ulayat atau lahan masyarakat di desa nyata terjadi, karena adanya proses yang manipulasi serta mekanisme penyerahan lahan yang tentu membawa konsekuensi pada peralihan hak atas tanah kepada perusahaan dan status yang disebut tanah negara yang tidak dipahami oleh masyarakat adat/masyarakat local di desa.
Lebih ironis lagi, dalam temuan The Gecko Project, perusahaan pembeli minyak sawit seperti Nestlé, Unilever, dan Kellog’s yang memiliki sederet komitmen terhadap keberlanjutan termasuk di dalamnya Human Rights dan No Eksploitation salah satunya melalui pendekatan sertifikasi membeli minyak sawit dari perusahaan-perusahaan yang membagi sedikit sekali keuntungan atau bahkan sama sekali tidak membagi keuntungan untuk masyarakat dalam skema kemitraan.
Ini menjadi kritik terhadap pihak Roundtable on sustainable Palm Oil (RSPO) yang membiarkan produksi sawit kotor lolos dalam proses sertifikasi serta kritik terhadap para pembeli minyak sawit (buyers) dan Grup Perusahaan besar di Indonesia yang selalu mengatakan mereka memiliki mekanisme yang ketat dalam pelaksanaan sertifikasi dan melakukan praktik sawit berkelanjutan.
“Namun ternyata faktanya konflik masih terjadi dan kehadiran komitmen keberlanjutan mereka hanya pemanis, tidak sampai pada praktek operasional di level pabrik maupun suplayernya,” kata Andri dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, belum lama ini.
Lebih lanjut tutur Andri, RSPO maupun perusahaan pembeli minyak sawit seharusnya perlu melakukan evaluasi dan pemberian sanksi yang tegas bagi perusahaan penerima sertifikat berkelanjutan atau yang menjadi suplayer mereka yang terlibat konflik dengan masyarakat, bukan sebaliknya hanya menjadi jalan tol bagi minyak sawit kotor, dan sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan yang memiliki komitmen keberlanjutan untuk memastikan implementasinya hingga pada tingkat operasional paling bawah.
“Sehingga klaim sustainability mereka tidak sekedar jargon atau hanya praktek greenwashing yang kerap dilakukan oleh grup perusahaan dan buyers,” tandas Andri.
Disclaimer: Artikel ini merupakan kerja sama Canalberita.com dengan infosawit.com. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi artikel menjadi tanggung jawab infosawit.com.