CANALBERITA.COM — Kulitnya yang hitam semakin legam. Barita sehari-hari menghabiskan waktu di kebun sawit miliknya di Desa Tasik Serai, Kecamatan Talang Muandau, Kabupaten Bengkalis. Dari berkebun sawit ini, Barita telah menyekolahkan tujuh orang anaknya ke jenjang pendidikan tinggi.
Saat disambangi Riau Pos akhir pekan kemarin, Barita sedang asyik menyiangi rerumputan yang tumbuh di batang sayuran yang ditanamnya di sela-sela pohon kelapa sawit yang kini sudah berumur 20 tahun.
“Sejak memiliki kebun sawit ini, saya selalu menanam sayuran juga, sehingga hasil yang saya dapatkan jauh lebih banyak. Tidak hanya dari buah sawit yang dipanen sekali dua pekan, tetapi juga dari sayuran yang saya panen tiap bulan,” katanya.
Di hamparan kebun sawit milik Barita, tidak hanya berbagai jenis sayuran seperti bayam, kangkung, kacang panjang, ubi kayu ditanam. Bahkan tanaman kakao juga ada. Buahnya sangat lebat.
“Kakao (kopi coklat) ini baru sekitar 1,5 tahun saya tanam. Saya selalu memanfaatkan lahan yang ada semaksimal mungkin,” katanya. Dari kebun sayuran, Barita setiap bulannya mendapat keuntungan antara Rp2-3 juta.
Sementara hasil panen sawit sekali dua pekan dari lahan seluas 2 hektare ini bisa menghasilkan 4-5 ton. “Kalau harga sawit naik lumayanlah hasilnya. Tapi kalau harga turun yah kita masih bisa mengandalkan hasil kebun sayuran. Biasanya kalau harga sawit naik, buahnya sering trek, tapi kalau harga turun buahnya sering banyak. Kalau buah trek, biasanya paling banyak 3 ton buah yang kita panen,” katanya sambil tertawa yang memperlihatkan gigi depan yang sudah ompong.
Bagaimana kelapa sawit milik Barita bisa menghasilkan buah sedemikian banyak? Barita mengawali kisahnya sebagai petani sayuran. “Tahun 1950, ayah dan ibu merantau ke Pekanbaru, Provinsi Riau dengan membuka hutan. Dengan pengalaman sebagai petani di kampung tentu saja pekerjaan yang bisa digeluti adalah bertani. Untuk bisa mendapatkan hasil yang cepat, ayah dan ibu menanam sayuran ala kadarnya di lahan yang baru dibuka. Tak perlu pupuk, karena tanahnya masih asli dan gembur. Sayuran yang ditanam pun subur,” cerita Barita teringat masa lalunya.
Karena terlahir dari anak petani, Barita hanya bisa sekolah hingga SMP, namun beberapa saudaranya ada yang lulus SMA. Itu pulalah yang membuat Barita bertekad seluruh anak-anaknya harus mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. “Kami delapan bersaudara, tujuh perempuan dan satu laki-laki. Hanya saudara laki-laki sayalah yang lulus SMA, sedangkan kami hanya tamat SMP. Kami pun diajarkan cara bertani yang baik oleh orang tua dan hanya sayalah yang menerapkan pola bertani tanpa menggunakan bahan kimia,” terang wanita yang sudah 38 tahun menjanda ini.
Karena lulusan SMP, Barita pun menikah muda. Setelah menikah, Barita pindah ikut suaminya merantau ke Duri. Sayang pernikahan yang dibinanya tidak berjalan mulus. Suaminya pergi meninggalkannya dengan tujuh anak yang masih kecil. Untuk bisa menyambung hidup, Barita pun menumpang di tanah milik orang lain. Di sana dia berkebun sayuran. Hasil kebun sedikit demi sedikit ditabungnya. Sedang ketujuh anaknya disekolahkan ke sekolah negeri.
Karena anak yatim tentu saja tidak perlu bayar SPP. Tinggal Barita memikirkan biaya perlengkapan sekolah anak-anaknya. 15 tahun sudah Barita berkebun menumpang di lahan orang. Uang yang terkumpul ternyata bisa membeli lahan seluas 2 hektare di Desa Tasik Serai, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Dia pun mulai mengikuti jejak orang lain yang mulai berkebun kelapa sawit. Bibit sawit yang dibelinya pun melalui jalur pasar gelap, karena Barita tak memiliki uang yang cukup untuk beli bibit sawit kualitas bagus. Jarak antara tempatnya tinggal dengan lahan yang dibeli sekitar 35 kilometer. Tidak ada transportasi umum ke sana. Barita pun membeli sepeda bekas yang masih bisa dipakai.
Untuk bisa ke lahan ini, walaupun jaraknya hanya 35 kilometer, namun karena jalannya lebih banyak hutan dan semak belukar, diperlukan waktu 6 jam untuk sampai. Mau tidak mau Barita harus mandah. Anak-anaknya ditinggalkan di rumah. “Biasanya anak-anak saya tinggalkan sampai tiga hari. Karena bekal yang bisa saya bawa untuk tiga hari. Awalnya saya tak tahu bagaimana menanam sawit, tapi saya belajar dari orang-orang. Saya dan beberapa kawan yang punya kebun di sini bergantian mengerjakan kebun kami,” katanya.
Karena kebun sawitnya belum menghasilkan, Barita pun menanam sayuran di lahan tersebut. Lagi-lagi Barita tidak menggunakan bahan kimia. “Pakai pupuk kompos, rerumputan dan ilalang yang saya bersihkan saya bakar ditambah kotoran ternak. Ini saya campur jadi pupuk kompos. Hasilnya, luar biasa. Tanaman sayuran saya tumbuh subur, sawit yang ditanampun ikutan subur,” katanya sambil sesekali tangannya mencabuti rumput.
Setelah sawitnya mulai berbuah pasir, Barita tidak lagi membakar rumput dan ilalang. Ia menimbunnya dalam lubang yang dicampur kotoran ternak dan pelepah pisang. Barita lebih memilih berkebun dengan memperhatikan lingkungan. “Pupuk komposnya cepat jadi. Tapi saya mulai menggunakan bahan kimia untuk membunuh hama, tapi tidak sering. Setelah sawit mulai menghasilkan, tanaman sayuran mulai dikurangi sehingga tidak mengganggu aktivitas memanen sawit,” tegasnya.
Diakui Barita, sebenarnya pohon sawit miliknya tidak lama lagi harus di-replanting. Namun tanaman kakao yang telah menghasilkan buah ini bisa menjadi penopang kebun miliknya. “Kakao ini juga harus telaten merawatnya, daunnya nggak boleh terlalu banyak jika ingin berbuah lebat. Tentunya jarak tanam antara sawit dengan kakao juga harus diperhatikan agar sinar matahari bisa masuk,” kisah Barita lagi.
Tumpang sari sawit dengan sistem budidaya agroforestri inilah yang telah mengubah hidup keluarga Barita. Semua anak-anaknya bisa sekolah hingga perguruan tinggi. Bahkan kini, Barita telah memiliki kebun sawit seluas 50 hektare di Provinsi Jambi. “Hanya satu anak saya yang di Jambi, yang mau mengikuti jejak saya, berkebun. Yang lainnya lebih memilih kerja kantoran,” katanya tertawa.
Budidaya tanaman sela (semusim/kehutanan) berpeluang dikembangkan pada lahan perkebunan kelapa sawit. Namun memerlukan strategi pengelolaan seperti yang dilakukan Barita. Dimana sistem pengelolaan ini meningkatkan daya dukung lahan, menghasilkan produk ganda dan dapat meminimalkan biaya pengolahan. Perkebunan kelapa sawit juga berperan dalam meningkatkan perekonomian rumah tangga dan perekonomian daerah. Hal ini menjadi daya tarik lebih bagi masyarakat dan pemerintah.
Pernyataan ini didukung oleh Rist et al (2010) dan Sayer et al (2012) dalam Muryunika (2015) yang menyebutkan bahwa pembangunan kelapa sawit mampu meningkatkan kesejahteraan petani setempat. Tidak hanya dari segi ekonomi, tanaman kelapa sawit juga mampu memberikan berbagai manfaat dari segi pelestarian lingkungan hidup. Kelapa sawit (elaeis guineensis jacq) yang merupakan tanaman tahunan berbentuk pohon dapat berperan positif terhadap lingkungan.
Kelapa sawit dapat mengurangi efek gas rumah kaca seperti CO2. Proses penyerapan CO2 ini akan terus berlangsung selama pertumbuhan dan perkembangannya masih berjalan. Kelapa sawit juga mampu menghasilkan O2 dan meningkatkan jasa lingkungan lainnya seperti konservasi biodiversity dan ekowisata. Manfaat lingkungan tersebut tentunya hanya dapat diambil apabila pengembangan perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan cara yang tepat.
Kelapa sawit sebagai tanaman yang dapat tumbuh hingga 20 meter dan secara umum memiliki jarak tanam 8 meter x 9 meter menyisakan ruang kosong yang luas di antara tegakan kelapa sawit. Hal tersebut berdampak pada peningkatan kebutuhan konversi lahan hutan. Menurut Critchley & Bruijnzeel (1996), ketika hutan alam dikonversi untuk pertanian atau perkebunan, pengurangan tanaman tutupan mengakibatkan penurunan cadangan air. Data dari BPS, sejak tahun 2008 areal perkebunan kelapa sawit meningkat tajam dengan laju rata-rata 12,30 persen per tahun di Indonesia.
Data Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, luas kebun sawit Riau sekitar 3,38 juta hektare atau sekitar 20 persen dari total luas kebun sawit nasional yang sekitar 16,38 juta hektare. Dari total luas kebun sawit yang ada di Riau tersebut, sekitar setengahnya adalah kebun rakyat yang dikelola oleh masyarakat dengan sistem kebun plasma atau kebun swadaya.
Saat ini, pemda mencatat sekitar 100.000 hektare kebun sawit rakyat di Riau sudah memasuki masa replanting atau harus ditanam ulang. Karena usia pohon sawitnya sudah di atas 25 tahun. Peran Perkebunan Kelapa Sawit sebagai Tanaman Industri Dalam mendukung pembangunan berkelanjutan diperlukan teknik penanaman yang memperhatikan aspek lingkungan.
Salah satu teknik penanaman kelapa sawit tanpa merusak hamparan luas hutan tropis adalah agroforestri. Agroforestri dapat mengembalikan sistem keanekaragaman hayati. Konsep agroforestri umumnya mirip dengan tumpang sari yang menerapkan penanaman beberapa jenis tanaman berbeda pada satu lahan.
Agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan yang mengombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan, dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan. Kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah atau ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
Mengingat penanaman kelapa sawit dilakukan dalam skala besar dan bersifat monokultur (satu jenis tanaman) maka penanaman tanaman tambahan dengan teknik agroforestri ini bisa menjadi alternatif yang tepat. Selain itu dengan agroforestri ruang kosong di antara tegakan kelapa sawit sangat berpotensi untuk dioptimalkan. Selain mampu meningkatkan fungsi lahan, agroforestri juga memberikan kelebihan lain.
Petani/masyarakat dapat mengembangkan agroforestri untuk memenuhi kebutuhan pokok. Walaupun umumnya dikelola secara tradisional, kontribusi penanaman dengan sistem agroforestri terhadap pemenuhan kebutuhan hidup sangat dirasakan petani. Petani memilih jenis tanaman yang cepat tumbuh atau minimal mampu memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Hal ini didasari dari pemahaman bahwa agroforestri sebagai metode pemanfaatan lahan pertanian yang memberikan kontribusi pendapatan lebih di samping memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Biopot Ramah Lingkungan Penggunaan polybag dalam kegiatan pembibitan tanaman memberikan dampak terhadap lingkungan dari limbah kantong plastik polybag. Selain pencemaran lingkungan, penggunaan polybag berbahan dasar plastik mengakibatkan kerusakan akar tanaman pada saat penanaman di lapangan. Oleh karena itu, Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH) Kuok sejak 2012 lalu melakukan pengembangan biodegradable pot (biopot).
Tidak hanya berkontribusi mengurangi sampah plastik, melainkan juga mampu berperan dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Polybag termasuk bahan plastik yang sangat sulit diuraikan oleh mikroba tanah, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Plastik termasuk bahan yang beracun dan berbahaya sehingga keberadaannya dalam tanah akan menjadi bahan pencemar
Penggunaan secara terus menerus akan meningkatkan beban pencemar tanah. Teknisi Litkayasa Penyelia Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Eko Sutrisno SP MSi MSc kepada Riau Pos, Ahad (23/2) mengatakan, biopot yang dihasilkan oleh BP2TSTH Kuok, kini semakin ekonomis, dengan harga pokok produksi Rp958 per biopot. Angka ini lebih murah dari produk sebelumnya yakni Rp1.050 per biopot.
Pengembangan terus dilakukan untuk dapat mencapai harga Rp100 per biopot. Analisis finansial menunjukkan bahwa benefit and cost ratio (B/C ratio) biopot ini sebesar 1,04, yang berarti produk ini layak untuk diusahakan oleh masyarakat,” ujar Eko. Pria berkacamata ini menjelaskan proses pembuatan biopot relatif mudah. Dimulai dengan penguraian bahan baku menjadi serat.
Selanjutnya, seluruh bahan dicampurkan dengan persentase kelarutan tertentu (menyesuaikan dengan ketebalan yang dikehendaki), dan kemudian dicetak. Bahan pembuatan biopot berasal dari limbah lignoselulosa terutama limbah industri penggergajian, pemanenan hutan tanaman industri (HTI) dan limbah produksi pabrik kelapa sawit (tandan kosong) yang melimpah di Provinsi Riau. Sumber serat tanaman juga dapat diperoleh dari limbah rumah tangga dan perkantoran, seperti limbah kertas atau karton.
Ketersediaan bahan baku dan juga kebutuhan jutaan bibit pohon setiap tahunnya, membuat biopot cukup potensial dikembangkan sebagai alternatif usaha oleh masyarakat. “Potensi pengembangan biopot tersebut tidak hanya di Riau, melainkan juga di seluruh Indonesia,” sebut alumni Magister Ilmu Lingkungan Unri ini.
Diketahui, setiap persemaian permanen yang dibangun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), membutuhkan lebih dari satu juta bibit setiap tahunnya. Saat ini terdapat 52 persemaian permanen. Belum lagi persemaian-persemaian yang dibangun pihak lain, termasuk persemaian tanaman pertanian yang juga membutuhkan pot dalam prosesnya. Secara teknis, biopot ini mampu bertahan selama 6-12 bulan di persemaian yang setiap hari disiram.
Biopot ini akan terdekomposisi sempurna di dalam tanah dalam jangka waktu dua tahunan. Biopot juga mampu menyumbang hara makro (resources) ke tanah dan atau tanaman, kemampuannya melepaskan unsur N (1 persen), unsur P (0,1 persen) dan unsur K (0,05 persen). Inovasi biopot ini selaras dengan program Kementerian LHK untuk mengendalikan sampah plastik di Indonesia.
Menurut data Kementerian LHK, timbunan sampah di Indonesia secara nasional sebesar 175.000 ton per hari dengan komposisi sampah organik (sisa makanan dan tumbuh-tumbuhan) 50 persen, plastik 15 persen, kertas 10 persen dan sampah lain-lainnya sebesar 25 persen. Di sektor kehutanan, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan sangat berpotensi menghasilkan sampah plastik. Apalagi, Kementerian LHK telah mencanangkan rehabilitasi hutan dan lahan seluas 1,1 juta hektare setiap tahun.
Dari luasan tersebut, kebutuhan bibit tanaman yang harus disiapkan untuk bahan tanaman di lapangan sekitar 440 juta bibit (1 hektare diperlukan 400 tanaman). Pembuatan bibit tanaman untuk memenuhi kebutuhan tersebut masih menggunakan plastik polybag sebagai wadah media tanam dalam persemaiannya. Penggunaan plastik polybag tersebut akan menjadi sampah plastik yang jumlahnya mencapai 880 ton per tahun (1 kg berisi 500 lembar polybag).
“Diharapkan biopot ini bisa diaplikasikan pada skala industri kecil menengah dan mampu menjadi percontohan untuk implementasi 3R (Reduce, Recycle, Reuse). Dengan konsep yang mengacu pada realitas sosial atau konsep pemberdayaan (empowerment), biopot ini diharapkan mampu menjadi salah satu bentuk kampaye penyelamatan lingkungan berbasis pemberdayaan masyarakat. Dan sekaligus alternatif mata pencaharian untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan,” tutup Eko.
Penggunaan pot organik turut mengurangi pencemaran dari limbah plastik tempat media tumbuh serta menjaga siklus alami penguraian bahan organik.Biopot juga dapat memberikan sumbangan hara dalam peran media tumbuh kembang terhadap tanaman dan lingkungan sekitarnya.*** Laporan HENNY ELYATI, Duri
Sumber: www.riaupos.jawapos.com
Tinggalkan Balasan