Mengukur Hasil Nyata Kebijakan Larangan Ekspor CPO

JAKARTA,canalberita.com-Dalam rangka menurunkan harga minyak goreng domestik, Pemerintah RI sempat memberlakukan kebijakan larangan ekspor pada kuartal kedua tahun ini. Namun, kebijakan tersebut tidak membebani kinerja keuangan emiten kelapa sawit, malah pendapatan perusahaan tercatat naik tipis pada kuartal kedua tahun ini.

Kebijakan larangan ekspor CPO diberlakukan selama nyaris sebulan dari tanggal 28 April hingga 22 Mei 2022. Pada medio tersebut, tepatnya sehari setelah pemberlakuan larangan ekspor harga CPO di bursa Malaysia menyentuh rekor harga tertinggi sepanjang masa, MYR 7104/ton. Selama larangan ekspor diberlakukan harga CPO dunia juga tidak pernah turun di bawah level MYR 6.000/ ton.

Sejatinya level perdagangan CPO MYR 6.000/ton bertahan selama dua bulan di kuartal kedua tahun ini yakni mulai 11 April hingga 10 Juni 2022. Hal ini lebih baik dari kuartal pertama yang level MYR 6.000/ton hanya dapat bertahan kurang dari sebulan atau mulai 23 Februari hingga 17 Maret 2022.

Kondisi tersebut tampaknya ikut membantu kinerja emiten sawit yang malah mencatatkan kinerja lebih baik dari kuartal pertama, meskipun ekspor diberhentikan nyaris satu bulan.

Berdasarkan data Refinitiv, terdapat 14 emiten sawit yang sudah melaporkan kinerja kuartal kedua tahun ini yakni: Wilmar Cahaya Indonesia (CEKA); Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMAR); Astra Agro Lestari (AALI ); Sampoerna Agro (SGRO); Eagle High Plantations (BWPT); Salim Ivomas Pratama (SIMP); Austindo Nusantara Jaya (ANJT); Dharma Satya Nusantara (DSNG); Mahkota Group (MGRO); Andira Agro (ANDI); Palma Serasih (PSGO); Cisadane Sawit Raya (CSRA); Pinago Utama (PNGO); dan Triputra Agro Persada (TAPG).

Secara total, gabungan pendapatan 14 emiten tersebut di kuartal kedua naik 2,05% secara kuartalan (qtq). Total gabungan pendapatan pada kuartal II-2022 tercatat sebesar Rp 41,11 triliun, sedangkan untuk kuartal I-2022 sebesar Rp 40,29 triliun. Sementara itu secara tahunan, pendapatan gabungan 14 emiten tersebut tumbuh 26%, yang mana pendapatan selama April hingga Juni 2021 tercatat hanya sebesar Rp 32,66 triliun.

Secara spesifik, hanya terdapat tiga emiten yang pendapatannya terkontraksi yakni SIMP (-9,38%), ANDI (-2,17%) dan PSGO (-14,32%). Dari 11 emiten lainnya yang pendapatannya tumbuh, lebih dari setengahnya naik signifikan atau lebih dari 10%. Tujuh emiten dengan kenaikan tertinggi termasuk BWPT (33%), SMAR (14%), AALI (15%), MGRO (15%), CSRA (21%), PNGO (13%) dan TAPG (11%).

Kinerja keuangan emiten kelapa sawit/CPO yang ditopang tingginya harga komoditas sejatinya sudah terlihat dari kuartal pertama tahun ini, yang mana 23 perusahaan secara total melaporkan pendapatan Rp 50,55 triliun, naik 31,41% dari tiga bulan awal 2021 sebesar Rp 38,17 triliun.

Meski harga CPO telah turun tajam belakangan ini, kinerja kumulatif secara tahunan tampaknya masih akan naik signifikan dari tahun lalu. Hal ini karena harga rata-rata terendah CPO tahun ini masih berada di atas harga rata-rata CPO tahun lalu.

Dengan kenaikan pendapatan 2,05% (qtq), laba bersih gabungan 14 emiten yang telah mengumumkan kinerja keuangannya tercatat mengalami penurunan, meski demikian penurunan tersebut sangat kecil atau sebesar 1,14% (qtq) secara kuartalan.

Pada kuartal II-2022 (April-Juni), total gabungan laba tercatat sebesar Rp 3,46 triliun. Sementara itu selama tiga bulan di kuartal kedua tahun lalu, laba bersih gabungan tercatat sedikit lebih besar yaitu Rp 3,50 triliun. Sementara itu secara tahunan (yoy) laba bersih gabungan naik tajam hingga 83% dari semula hanya Rp 1,89 triliun sepanjang bulan April hingga Juni tahun lalu.

Secara rinci mayoritas emiten yang telah menerbitkan laporan keuangan terbaru, kinerja bottom line-nya memburuk, akan tetapi hal ini dapat diperbaiki oleh kinerja cemerlang yang dicatatkan oleh beberapa emiten lain.

Selama April hingga Juni 2022, terdapat dua emiten yang mengalami kerugian, dengan 9 lainnya laba bersihnya tergerus. Akan tetapi kinerja apik yang dicatatkan oleh SMAR yang laba bersihnya naik 11%, SGRO (17%), duo emiten Triputra DSNG (24%) dan TAPG (4%) mampu memperbaiki kinerja secara agregat.

Namun, dorongan terbesar datang dari emiten perkebunan kelapa sawit milik Peter Sondakh, BWPT, yang pada kuartal kedua mampu mencatatkan laba bersih Rp 32,18 miliar dari semula merugi Rp 220,59 miliar.

Meski kinerja top line nyaris tidak terdampak oleh kebijakan larangan ekspor, hal ini berbeda dengan kondisi bottom line yang tergerus tipis. Meski demikian menurunnya laba bersih yang dirasakan cukup minimal secara gabungan, namun untuk beberapa perusahaan lumayan besar.

Hal ini dirasakan oleh AALI yang laba bersihnya sepanjang April-Juni 2022 turun 34% (qtq) dari kuartal sebelumnya. Secara tahunan (yoy), laba tersebut juga turun 35%. Hal yang mirip juga dirasakan oleh emiten Grup Salim SIMP yang secara kuartalan (qtq) laba bersihnya turun 47%, namun secara tahunan (yoy) tumbuh 36%.

Kondisi lebih buruk dialami oleh MGRO dan ANDI. Pada kuartal kedua tahun ini MGRO malah mencatat kerugian dari semula memperoleh untung pada kuartal I 2022 dan juga kuartal II-2021 setahun lalu. Sedangkan ANDI juga merugi dari sebelumnya untuk di kuartal II-2022, sedangkan secara tahunan (yoy), kerugian perusahaan tercatat meningkat.

Dengan kondisi tersebut, penurunan laba perusahaan kelapa sawit/CPO secara total dapat membesar selama kuartal kedua tahun ini. Hal ini karena masih terdapat setidaknya 12 emiten sawit yang belum melaporkan kinerja keuangannya.

Dalam tiga bulan pertama tahun ini, minus beberapa emiten yang belum melaporkan kinerja keuangan, total laba bersih yang berhasil dicatatkan oleh emiten sawit/CPO mencapai Rp 5,48 triliun. Capaian tersebut naik 138% secara tahunan (yoy) dari semula hanya Rp 371,02 miliar pada kuartal pertama tahun 2021.

Capaian laba bersih kuartal pertama tahun juga tampaknya tidak dapat diimbangi oleh laba bersih kuartal II-2021 setelah seluruh emiten melaporkan hasil kinerja keuangannya.

Sumber:cbcindonesia.com