HUT Bhayangkara, Slogan Presisi Tercoreng Kekerasan Polisi

JAKARTA, canalberita.com–HUT Bhayangkara diwarnai catatan kritis oleh sejumlah kelompok masyarakat sipil yang menilai kinerja Polri masih dipenuhi kekerasan. Merujuk catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), aparat kepolisian diduga melakukan 677 tindak kekerasan sepanjang Juli 2021-Juni 2022.

Jumlah ini meningkat dari periode sebelumnya Mei 2020-Juni 2021 yaitu dugaan 651 kekerasan oleh aparat kepolisian. Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar menyebut rentetan kasus itu sebagai parade kekerasan yang kerap kali dipertontonkan sepuluh tahun terakhir.

“Selama 5-10 tahun, yang mau saya katakan, terjadi parade kekerasan dan kerap kali dipertontonkan, dan hampir selalu terjadi itu di penanganan aksi massa,” ujar Rivanlee pada CNNIndonesia.com, Kamis (30/6).

Rangkaian kekerasan itu mulai dari penggunaan senjata api, penganiayaan, hingga penangkapan sewenang-wenang. Menurut catatan KontraS, kekerasan terbanyak dilakukan kepolisian berupa penembakan 456 kasus, penganiayaan 83 kasus, dan penangkapan sewenang-wenang 43 kasus.

Rivanlee menyebut fenomena penggunaan senjata api yang tidak terukur ini dianggap sebagai kewajaran oleh pihak kepolisian dengan dalih ketertiban dan keamanan.

Menurut dia, itu tercermin dari instruksi Kapolda Jawa Barat Ibrahim Tompo yang menginstruksikan jajarannya hingga tingkatan Polsek untuk menindak tegas pelaku geng motor dan begal, termasuk dengan cara tembak di tempat, Selasa (31/5) lalu.

“Diperparah dengan kewenangan diskresi kepolisian yang dimaknai secara multitafsir guna mendapat legitimasi penggunaan senjata api,” ucap Rivanlee.

Merujuk data tindakan polisi dalam menanggapi kebebasan berekspresi, sepanjang tahun ini ada 45 dugaan tindakan kekerasan terhadap aksi masa. Jumlah korban akibat tindakan itu mencapai 523 jiwa dengan rincian 453 orang ditangkap, 67 korban luka, serta 3 orang meninggal dunia.

Selain itu, kata Rivanlee, praktik penyiksaan yang dilakukan kepolisian kerap ditujukan sebagai metode mencari fakta dalam kasus salah tangkap. Artinya, penyiksaan itu dilakukan untuk merekayasa peristiwa kasus salah tangkap.

Jika dilihat dari tingkat satuan, pelaku penyiksaan paling banyak di Polres dengan 24 kasus, Polsek 6 kasus, dan Polda 2 kasus. Salah satu korban kasus penyiksaan ini adalah kematian narapidana Freddy Nicolaus di Polres Jakarta Selatan pada 13 Januari 2022.

“[Menunjukkan] Polisi gagal mengidentifikasi permasalahan sehingga mereka punya konsekuensi untuk mempercepat kasusnya dengan cara penyiksaan,” tuturnya.

Termasuk sikap polisi yang dikritisi adalah ketidaktegasannya dalam melindungi hak asasi manusia (HAM) serta kelompok minoritas.

Salah satu kasus yang sempat menjadi sorotan yakni abainya pihak kepolisian saat perobohan masjid Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat. Sebuah video yang beredar menampilkan aparat berseragam lengkap hanya menonton massa merobohkan dan merusak masjid itu.

“Kami melihat bahwa peristiwa semacam ini terjadi karena tidak ada dorongan yang kuat dari atasan atau perwira tinggi Polri untuk melindungi kelompok minoritas. Selain itu, sikap populisme Kepolisian yang berakibat pada cherry picking di lapangan dalam memberikan perlindungan juga menjadi penyebab utama,” ungkapnya.

Akar Masalah
Rivanlee menganggap akar persoalan ini adalah masalah struktural dan kultural buntut ketiadaan ketegasan dari pimpinan Polri. Menurutnya, Polri selama ini gagal mengidentifikasi dan mengakui permasalahan di dalam tubuhnya sendiri. Salah satu yang ia soroti adalah mekanisme pengawasan kepolisian yang tidak jelas.

“Pengawasan antar satuan tingkatan, jika itu berjalan dengan baik, itu bisa menghindari praktik penyiksaan yang terjadi,” ujarnya.

Selain itu, mekanisme pengawasan dari lembaga eksternal seperti DPR, Kompolnas, dan Komnas HAM tak bisa membuat Polri berbenah atau menindaklanjuti hasil rekomendasi yang ada.

Senada, Peneliti Institute for Criminal Justice (ICJR) Iftitahsari memaparkan bahwa pengawasan adalah momok persoalan Polri sejak dulu. Tita, sapaan akrabnya, menilai persoalan sistemik itu dapat diselesaikan dengan merevisi kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP).

“Hukum acara pidana kita yang memberikan kewenangan terlalu besar untuk kepolisian, khususnya penyidik di dalam lingkup kepolisian. Tapi dia nggak punya mekanisme pengawasan yang kuat,” ujar Tita.

Ia menyebut polisi tidak memiliki aktor seimbang yang bisa melakukan check and balance dalam tiap perkara. Meski demikian, ia menyadari wacana revisi KUHAP akan mendapatkan perlawanan dan resistensi sebab kewenangan yang dimiliki Polri bakal berkurang.
“Siapapun yang punya kewenangan besar otomatis enggak mau kewenangannya dikurangin, jadi memang dari segi situ tantangannya,” ucapnya.

Slogan Presisi Sebatas Citra
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan slogan Presisi yang merupakan akronim dari prediktif, responsibilitas, transparansi, serta berkeadilan untuk mereformasi citra kepolisian.

Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menilai semboyan itu sebatas jargon tanpa diikuti perbaikan riil di lapangan.Sebagai sindiran, KontraS mengeluarkan jargon Persisi atau Perbaikan Palsu Institusi Polri.

“Fakta dan kenyataan di lapangan yang masih menunjukkan bahwa upaya perbaikan hanya fokus pada citra, bukan kinerja. Kritik masyarakat yang sangat masif terjadi di satu tahun belakangan hanya disikapi dengan ucapan lip service,” ujar Fatia.

Terlebih, kepolisian saat ini dipandang hanya akan menyelesaikan perkara hukum yang sedang viral di tengah masyarakat. Seperti diketahui, sepanjang Oktober-November 2021, berbagai tagar menyindir Polri ramai di media sosial seperti #1Day1Oknum, #NoViralNoJustice, #ViralForJustice, bahkan hingga #PercumaLaporPolisi.

Menurut Kepala Divisi Hukum KontraS Andi Muhammad Rezaldy, tagar-tagar itu menjadi cermin kejenuhan publik atas pengungkapan kasus dan tindakan yang didasarkan pada keviralan suatu kasus.

“Seakan hanya berfokus pada citra, kultur kepolisian kembali berangsur memburuk setelah masyarakat tak lagi begitu masif membahas kinerja kepolisian di media sosial,” katanya,

Andi menyebut masyarakat yang mengeluhkan kembali buruknya kinerja polisi pun akhirnya memilih untuk membuat viral kasusnya. Tujuannya agar mendapatkan perhatian dari publik secara luas sehingga muncul dorongan untuk mengusut kasus tersebut secara cepat.

Salah satu kasus yang sempat viral dan ditanggapi polisi dengan buruk, menurut Wakil Koordinator KontraS Rivanlee, adalah pemberangusan mural berisi kritik pada pemerintah. Sekitar Juli-Agustus 2021, polisi melakukan penghapusan mural yang bertuliskan “Jokowi Not Found”, “Tuhan Aku Lapar”, dan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit.”

Kasus ini pun mendapat sorotan Presiden Joko Widodo sekaligus Panglima tertinggi Polri, yang meminta agar Kapolri Listyo tak mengurusi mural berisi kritik sebab hal itu merupakan hal sepele.

“Urusan mural aja ngapain sih? Wong saya dihina, saya dimaki-maki, difitnah udah biasa. Ada mural aja takut. Ngapain?” ujar Jokowi dalam arahannya kepada Kepala Kesatuan Wilayah Polri dan TNI di Bali, Jumat (3/12).

Rivanlee melihat hal ini sebagai tanda bahwa tindakan sekaligus citra polisi yang terus memburuk juga merupakan tanggung jawab lembaga pengawas dan pucuk pimpinannya.

“Berarti ada kegagalan untuk memperbaiki kondisi Polri dan membiarkan itu terus terjadi. Maka dari itu, tidak heran kalau publik ke depan akan menggugat bahwa jangan-jangan situasi ini dipertahankan,” tegas Rivanlee.

Terpisah, ketika dikonfirmasi terpisah terkait temuan KontraS, Karo Penmas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan pihaknya menerima berbagai penilaian dengan tangan terbuka. Ia berjanji akan menjadikan temuan itu sebagai bahan evaluasi.

“Kita berpikir secara positif atau positive thinking, bahwa penilai atau siapapun juga ingin Polri lebih baik. Itu akan kita jadikan evaluasi, kritik-kritik kepada Polri,” ungkapnya pada wartawan di Mabes Polri.

Sumber: CNN Indonesia