Respon Asimetris Permintaan Pada Ambiguitas Struktur Tarif Cukai Rokok

Penulis: AKBP Rebekka Artauli L. Tobing, S.Sos., M.Si.

Simplikasi Tarif Cukai Rokok
Kementerian Keuangan dalam rangka strukturisasi cukai rokok melaksanakan penyusunan kebijakan tarif cukai dan perluasan objek barang kena cukai, serta penguatan atas fungsi pengawasan dan penindakan barang kena cukai ilegal, karena pada tahun 2015 dan 2016 terdapat kendala-kendala yang menghambat pencapaian secara maksimal pada Pajak Rokok Daerah yang berpotensi memengaruhi penerimaan cukai (Rencana Renstra Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024).

Dari sisi keadilan justru simplifikasi struktur tarif cukai rokok segmen Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) sangat ideal untuk diterapkan. Kebijakan simplifikasi akan berdampak pada makin naiknya harga rokok di pasaran. Namun, jika semangat cukai adalah pengendalian konsumsi rokok, maka simplifikasi adalah jawabannya sehingga produsen rokok skala industri kecil akan mendapatkan cukai yang seharusnya. Tanpa simplifikasi cukai rokok maka perusahaan besar yang akan diuntungkan (bisnis.com).

Pasar Industri Rokok
Pasar industri rokok termasuk dalam pasar oligopoli. Menurut Sukirno (2019), oligopoli merupakan pasar yang terdiri hanya dari beberapa perusahaan yang mempunyai ukuran dan modal yang relatif besar. Pasar oligopoli di mana ada sedikit penjual yang menjual barang yang sama, maka aksi penjual harus memperhatikan reaksi penjual lain dengan aksi: (1) Menentukan berapa kuantitas yang akan diproduksinya dan (2) Menetukan berapa harga yang akan ditawarkannya (Adiwarman, 2015)

Selanjutnya, dari sisi elastisitas terdapat sejumlah kajian empiris menyimpulkan bahwa elastisitas permintaan rokok di negara maju dengan tingkat pendapatan yang relatif tinggi, ternyata relatif inelastik. Sebaliknya, di negara berkembang, termasuk Indonesia, cenderung relatif elastis.

Selain itu, elastisitas rokok terhadap harga ternyata tidak seragam atau asimetris yang membuktikan bahwa untuk rokok dengan tipe kretek filter, relatif lebih inelastik dibandingkan dengan rokok kretek non-mesin yang menunjukkan respon asimetris permintaan rokok terhadap cukai memiliki implikasi berupa masih relatif tingginya penerimaan negara meskipun tarif cukai dinaikkan cukup besar (Rasyid, 2019).

Asimetri Permintaan
Simplikasi cukai rokok dianalisis pada Pasar Ologopoli dan Elastisitas (Elastisitas Permintaan dan Inelastisitas) yang mempengaruhi produsen rokok dan permintaan konsumen pada rokok menunjukkan Pasar oligopoli pada industri rokok memiliki sedikit perusahaan yang memproduksi barang sejenis dan umumnya menghindari agresivitas persaingan harga.

Pada industri industri rokok putih persaingan yang terjadi sangat sedikit disebabkan oleh adanya kepemilikan modal yang kuat, efisiensi produksi, serta kemampuan manajemen yang unggul pada industri rokok ini. Berbeda dengan industri rokok kretek, persaingannya lebih tinggi dibandingkan industri rokok putih.

Selain itu, rokok kretek lokal yang pada umumnya bersifat home industry sehingga mumculnya pesaing baru. Hal ini menunjukkan pada pasar oligopoli persaingan muncul secara alamiah. Industri rokok yang lebih unggul secara alamiah dapat menghambat pesaing potensial industri rokok lainnya secara alamiah, seperti unggul dalam kepemilikan modal, efisien dalam berproduksi, serta kemampuan manajemen bisnis yang unggul.

Selanjutnya, Elastisitas (Elastisitas Permintaan dan Inelastisitas) yang mempengaruhi permintaan konsumen pada rokok. Dari sudut pandang Elastisitas permintaan (price elasticity of demand) pada harga rokok meningkat yang beredar di pasaran akan berpengaruh pada permintaan rokok yang dikonsumsi masyarakat. Artinya peningkatan harga akibat strukturisasi cukai rokok berakibat pada penurunan permintaan produk rokok sehingga adanya pengaruh signifikansi.

Sedangkan dari sudut pandang Inelastisitas permintaan, terjadinya perubahan harga rokok akibat struktur harga cukai menyebabkan perubahan kecil yang tidak proporsional dalam kuantitas yang diminta. Hal ini terjadi jika harga rokok tersebut meningkat tidak serta merta mempengaruhi daya beli konsumen pada produk rokok tersebut, karena selera konsumen pada produk rokok tersebut. Namun kebutuhan konsumen akan rokok disesuaikan antara jumlah permintaan dengan daya beli konsumen rokok.

Dari sisi Industri rokok kretek dinilai mampu bertahan, karena tingkat konsumsi masyarakat untuk jenis produk ini memang bersifat inelastis. Sebesar apapun peningkatan harga akibat perubahan kebijakan tentang produk rokok untuk menghambat konsumsi rokok, nyatanya tidak mampu mengubah konsumsi masyarakat terhadap rokok.

Konsumsi yang terus meningkat, menyebabkan industri rokok memproduksi output dalam jumlah besar untuk memenuhi permintan tersebut. Hal ini menunjukkan tidak berpengaruh signifikan karena konsumen tetap akan membeli rokok sehingga bermakna produk rokok tidak sensitif terhadap peningkatan harga.

Hal ini menunjukkan adanya respon asimetris permintaan rokok terhadap cukai memiliki implikasi berupa masih relatif tingginya penerimaan negara meskipun tarif cukai dinaikkan cukup besar karena permintaan akan Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) memiki rata-rata konsumsi yang jauh lebih tinggi dibandingkan rokok jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT).

Faktor permasalahan pada elastisitas permintaan dapat dikaitkan dengan selera konsumen akan suatu barang, karena selera akan jenis rokok merupakan faktor yang dapat mempengaruhi permintaan konsumen terhadap suatu produk rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Sebaliknya, berapapun harga produk harga barang yang diturunkan jika konsumen tidak memiliki selera untuk menggunakan barang tersebut, tidak terjadi permintaan terhadap barang tersebut.

Penutup
Pertama, Pasar oligopoli pada industri rokok putih persaingan yang terjadi sangat sedikit berbeda dengan industri rokok kretek, persaingannya lebih tinggi karena umumnya bersifat home industry sehingga munculnya pesaing baru.

Kedua, Produk rokok dengan karakteristik permintaan yang relatif inelastik dapat lebih diprioritaskan untuk dinaikkan tarif cukainya. Sebaliknya, rokok dengan karakter permintaan yang elastis (rokok kretek) pada tidak perlu diterapkan kenaikan tarif yang sangat besar.

Ketiga, adanya asimetri pada produsen rokok pada struktur tarif cukai rokok berdasarkan elastisitas permintaan dan inelastisitas. (**)

AKBP Rebekka Artauli L. TobingCukai RokokIndustri RokokRokokTarif Cukai Rokok