Basa-Basi Gimik Politik Duet Pemersatu Bangsa 2024

JAKARTA, canalberita.com--Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh melempar wacana ke publik soal duet pemersatu bangsa untuk Pilpres 2024.

Duet ini, kata Surya, bertujuan untuk mencari pemimpin bangsa yang dapat menghilangkan polarisasi saat ini. Surya mengaku telah menyampaikan skema duet calon untuk Pilpres 2024 itu ke Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Surya kemudian mengapresiasi munculnya usulan duet seperti Anies Baswedan-Puan Maharani, Ganjar Pranowo-Anies Baswedan, hingga Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar. Ia mengaku salah satu usulan komposisi duet capres-cawapres itu datang darinya.

“Itu saya akui iya. Jadi, apa yang bisa saya sumbangkan dengan hati, dengan kejujuran, apa yang saya pahami yang insyaallah barangkali itu bermanfaat bagi kepentingan kemajuan bangsa ini, saya pikir itu yang saya prioritaskan,” kata Surya kepada wartawan usai menerima Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di NasDem Tower, Gondangdia, Jakarta Pusat, Kamis (23/6).

Namun, bagaimanakah kans pasangan pemersatu bangsa yang diwacanakan Surya tersebut untuk Pilpres 2024?

Analis politik Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai usulan tersebut sekadar pemanis dan gimik politik dari Surya Paloh. Menurutnya usulan ini juga akan sulit terealisasi untuk pemilu mendatang.

“Pemanis aja, basa-basi. Gimik aja, enggak serius,” kata Pangi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (28/6).

Menurut Pangi duet Puan-Anies maupun Ganjar-Anies tidak akan pas. Terlebih, ketiga sosok tersebut dinilai berambisi menjadi calon presiden dan tidak ada yang akan mengalah menjadi calon wakil presiden.

Tidak hanya itu, Pangi mengatakan basis pemilih Ganjar, Puan, ataupun Anies berbeda satu sama lain. Hal ini justru akan melemahkan peluang pasangan tersebut.

“Basis mereka enggak bakal menyatu juga. Ganjar-Anies itu basisnya beda, Puan-Anies juga beda. Enggak bakal ketemu ini, paling kabur semua ini pemilihnya,” tutur Pangi.

Sementara itu, Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Jati juga menilai bahwa usulan tersebut sekadar menyimbolkan kekuatan politik. Ia menduga skema tersebut hanya untuk mempersatukan elite, bukan bangsa Indonesia.

“Usulan itu lebih pada inisiasi agar terbentuknya calon terunggul yang bisa mempersatukan semua elite dan meraup suara pemilih lintas segmen,” kata Wasisto.

Sementara itu, Pangi sangsi skema paslon pemersatu bangsa yang diwacanakan tersebut bakal meredam polarisasi pada Pemilu 2024.

Menurut dia polarisasi tidak akan bisa hilang hanya dengan penyatuan tokoh. Dia juga meyakini polarisasi akan terus ada selama hanya ada dua pasangan calon.

Ia menilai polarisasi yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini dirancang orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk menang dalam pemilihan umum.

Terkait wacana calon dalam Pilpres 2024 mendatang, Anies yang masa jabatannya di DKI untuk periode 2017-2024 berakhir pada Oktober menjawab merespons ingin fokus dengan Jakarta terlebih dulu. Dia pun enggan mengomentari wacana-wacana terkait Pemilu 2024.

“Saya ngurusin Jakarta dulu pokoknya. Fokusnya di situ,” ujar Anies di Jakarta International Stadium (JIS), Sabtu (25/6) malam.

Sementara itu, Ketua DPP Bidang Ideologi dan Kaderisasi PDIP Djarot Saiful Hidayat menyatakan yang dapat mempersatukan bangsa bukan perorangan, melainkan ideologi Pancasila.

“Yang mempersatukan bangsa kita, sekali lagi ya, itu bukan orang per orang, loh, yang mempersatukan bangsa kita itu ideologi,” ujar Djarot usai mengikuti agenda ‘Politik Cerdas Berintegritas’ Terpadu di Kantor KPK, Jakarta, Senin (27/6).

Puan dan Ganjar, secara terpisah beberapa waktu lalu pun enggan berkomentar lebih lanjut soal wacana Pilpres 2024. Kedua kader PDIP itu menegaskan petunjuk mengenai Pemilu 2024 mendatang hak prerogatif Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

“Ya kemarin kan di Rakernas [PDIP] sudah disampaikan bahwa hak prerogatif untuk menemukan bacapres (bakal calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden) itu merupakan hak prerogatif dari Ketum,” ujar dia, saat menjawab wacana duet dengan Ganjar, ketika ditemui di Jakarta, Sabtu (25/6).

“Kita tunggu saja nanti perhitungan, kemudian apa yang akan ibu Megawati usulkan,” lanjutnya.

“Mungkin di beberapa partai lain saya menghormati, ada prosesnya masing-masing kita hormati partai manapun. Bagi PDIP itu prerogatif,” tegasnya di arena Rakernas PDIP beberapa waktu lalu.

Sementara itu Prabowo, meskipun belum menyatakan secara pribadi, jajaranya di Gerindra baik di tingkat daerah hingga DPP telah mengisyaratkan pria yang kini menjadi Menhan itu untuk mencalonkan diri kembali di Pilpres.

Pun, demikian dengan PKB yang bakal mengusung ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, dalam setiap pembicaraan koalisi.

Pada era kini, menurut Wasisto akar polarisasi dalam pemilu di akar rumput terjadi karena amplifikasi identitas–yang menjadi ideologi pemilih– digerakkan pasukan siber atau para pendengung (buzzer).
“Dan itu didengungkan kontinu oleh para tokoh publik di berbagai level. Sedangkan, kandidat sendiri muncul belakangan dan diklaim sebagai representasi warna politik identitas,” ujarnya.

Lantas, apa yang Harus Dilakukan untuk Menyudahi Polarisasi dalam Pemilu?

Wasisto menyebut elite politik harus menjadi pihak pertama yang berupaya menyudahi polarisasi ini. Pasalnya, para elite ini justru melakukan identifikasi dan afiliasi persona maupun kelompok terhadap identitas tertentu.

“Biarkan identitas itu berkembang netral tanpa ada politisasi. Elite perlu lebih fokus pada kampanye berbasis programatik berbasis usulan kebijakan dan program yang menjadi acuan utama dalam kampanye,” papar dia.

Aparat Jangan Tebang Pilih

Sementara itu, Pangi mengatakan salah satu cara untuk meredam polarisasi adalah ketegasan penegak hukum. Ia menilai selama ini warga merasakan polisi masih tebang pilih dalam menangani masalah politik identitas yang berkembang dalam setiap ajang Pemilu.

Menurut Pangi kepolisian harus tegas kepada semua pihak yang menggunakan politik identitas.

“Penegak hukumnya jangan kompromi, jangan diskriminatif. Semua yang masuk wilayah politik identitas tangkap semua itu, efek jera harus ada,” jelas Pangi.

Menurut Pangi seluruh upaya untuk meredam polarisasi akan sirna apabila tak diikuti dengan ketegasan aparat penegak hukum. Alih-alih hal ini justru akan semakin melebarkan jurang perbedaan.

“Kalau enggak, percuma. Itu biang keroknya, penegak hukum yang enggak adil itu. Kalau besok ada yang pegang-pegang wilayah kontak pandora itu, mau masuk ke politik identitas, tangkap aja. Penjarakan semua,” kata dia.

Sumber: CNN Indonesia