ISPO dan Ganjalan Isu Lingkungan

CANALBERITA.COM – Tata kelola sawit berkelanjutan wajib dipatuhi perkebunan dan kebut sawit di Indonesia, kalau minyak sawit (CPO/crude oil palm) produk dalam negeri ingin laku dipasar global/internasional. Tata kelola sawit berkelanjutan dilakukan melalui seritifikasi pengelolaan kelapa sawit. Secara, regional masing-masing negara produsen kelapa sawit seperti Indonesia dan Malaysia mempunyai standar nasional tentang sertifikasi pengelolaan sawit masing-masing. Indonesia telah memiliki ISPO (Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil) yakni standar nasional Indonesia bagi minyak sawit berkelanjutan yang wajib ditujukan untuk meningkatkan peran minyak kelapa sawit Indonesia di pasar internasional dan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Wajib bagi semua produsen dan pabrik kelapa sawit menjalankan kepatuhan total yang diperlukan untuk memperoleh sertifikasi yang didasarkan atas regulasi hukum yang berlaku di Indonesia. Ditingkat global terdapat RSPO (Roundtable On Sustainable Palm Oil) beranggotakan beragam pemangku kepentingan industri minyak kelapa sawit dan bertujuan mendorong pengembangan dan penggunaan produk kelapa sawit berkelanjutan melalui standar global. Prinsip dan kriterianya diakui sebagai standar kelapa sawit berkelanjutan yang terketat dan paling diakui didunia.

Sertifikasi pengelolaan sawit berkelanjutan selalu dikaitkan dengan isu lingkungan, utamanya adalah krisis iklim yang menyebabkan meningkatnya emisi karbon yang mendera dan sedang dialami seluruh negara didunia. Penyebab terbesar emisi karboan adalah alih fungsi hutan untuk kepentingan  non kehutanan (deforestasi). Perubahan fungsi hutan menjadi non hutan menyumbangkan 48 persen emisi karbon. Menyusul karbon dari transportasi 21 persen, kebakaran 12 persen, limbah pabrik 11 persen, pertanian 5 persen dan sektor industri 3 persen.

Indonesia merupakan tiga besar pemilik hutan tropis basah dunia setelah Brasil dan Gabon. Wajar apabila pemerintah berpartisipasi aktif pada penanganan perubahan iklim dunia. Isu lingkungan khususnya deforestasi menjadi isu seksi yang dikaitkan dengan tata kelola sawit berkelanjutan di Indonesia.

Disamping faktor persaingan bisnis, wajar apabila belakangan ini Indonesia disibukkan oleh kampanye negatif oleh pasar di Eropa terkait dengan minyak kelapa sawit di tengah isu perubahan iklim. Parlemen Eropa dan Dewan Eropa sedang menyusun peraturan yang melarang produk yang berasal dari deforestasi masuk ke Uni Eropa. Produk tersebut meliputi daging sapi, kopi, cokelat, kedelai, kayu dan sawit. Negara pengirim harus menjelaskan produk tersebut di seluruh rantai pasoknya tidak berasal dari lahan hasil deforestasi. Deforestasi dianggap sebagai salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca (emisi karbon). Hutan adalah paru-paru dunia yang menangkap karobon dan melepaskan oksigen. Hutan juga sumber keanekargaman hayati yang penting untuk keberlangsungan kehidupan di bumi.

ISPO merupakan jawaban untuk menepis kampanye negatif tersebut dengan mengintensifkan kampanye poduk kelapa sawit berkelanjutan. Indonesia dan Malaysia yang tergabung dalam negara Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) sepakat menerapkan strategi bersama untuk menangkis kampanye negatif oleh pasar di Eropa terkait dengan  minyak kelapa sawit. CPOPC terus mengkampanyekan minyak sawit berkelanjutan, termasuk menggandeng konsultan publik di Eropa. Selain itu, CPOPC mengadopsi kerangka prinsip global untuk minyak sawit berkelanjutan dengan melibatkan kemitraan internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk percontohan pengembangan minyak nabati berkelanjutan.

Apa sesunguhnya ISPO itu, bagaimana syarat dan ketentutannya untuk mendapatkan sertifikasi ISPO, sampai dimana sertifikasi ISPO di Indonesia. Apa saja isu lingkungan yang masih mengganjal dalam tata kelola sawit berkelanjutan, bagaimana cara dan tindak lanjut penyelesaiannya kebun sawit yang tidak mengikuti prinsip dan kaidah kelestarian lingkungan.

ISPO atau Indonesian Sustainable Palm Oil System merupakan kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian. Kebijakan ini diambil sejak tahun 2009 untuk membuat minyak kelapa sawit dari Indonesia memiliki daya saing yang besar di pasar global. Selain itu, minyak kelapa sawit juga harus bisa mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang menyumbang pemanasan global. Pemerintah berharap kalau minyak bisa diolah menjadi bahan bakar seperti biodiesel agar ketergantungan semakin menurun seiring dengan berjalannya waktu. Memberlakukan ISPO juga dilakukan agar semua pengelola perkebunan kelapa sawit memiliki standar yang tepat. Mereka harus menggunakan cara-cara pertanian yang memang diizinkan oleh pemerintah.

Aturan mengenai sertifikasi Indonesian Sustainability Palm Oil alias ISPO bukanlah hal baru di Indonesia. Namun, kewajiban bahwa setiap pelaku usaha perkebunan kelapa sawit melakukan sertifikasi ISPO memang baru diatur. Sebelumnya, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ISPO) mewajibkan sertifikasi ISPO hanya bagi Perusahaan Perkebunan. Sementara itu, sertifikasi ISPO bagi pelaku Usaha Kebun Plasma, Usaha Kebun Swadaya, dan Perusahaan Perkebunan yang memproduksi minyak kelapa sawit untuk energi terbaharukan bersifat sukarela. Kini sebagaimana tertuang dalam pasal 5 Perpres 44/2020, kewajiban melakukan sertifikasi ISPO adalah bagi seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, baik perusahaan perkebunan dan pekebun.

ISPO mencakup beberapa prinsip yang harus dipatuhi oleh semua pihak. Prinsip itu antara lain adalah a) aturan yang berkaitan tentang cara membuka lahan kelapa sawit yang baru agar tidak merusak lingkungan di sekitarnya; b) pembukaan lahan kelapa sawit harus dilakukan dengan sistem yang benar. Tidak dengan melakukan pembakaran lahan. Kalau dengan sistem bakar ini, efeknya akan meluas termasuk terjadinya kabut asap; c) pemberlakuan AMDAL atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang dilakukan pelaku usaha. Umumnya akan ada tim yang akan mengecek dan melihat apakah proses ini sudah dilakukan dengan tepat; d) tidak menggunakan lahan-lahan yang memang dilarang. Lahan seperti lahan gambut tebal, lahan adat, lahan konservasi, hingga cagar budaya. Lahan ini harus dihindari karena berkaitan dengan sosial dan budaya; e) pembangunan pada lahan gambut harus dibuatkan dahulu sistem tata air agar tidak menyebabkan kerusakan.

Sayangnya, upaya kampanye intensif pemerintah untuk menangkis kampanye negatif oleh pasar di Eropa terkait dengan minyak kelapa sawit ini, tidak diimbangi dengan dengan peningkatan jumlah sertifikasi ISPO bagi perusahaan perkebunan, pekebun dan industri sawit di Indonesia. Hingga kini baru terdapat 755 sertifikat yang telah diterbitkan untuk perkebunan swasta dan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) dengan luas 5,8 juta hektar dari total 9,6 juta ha. Namun sertifikat ISPO yang diterbitkan untuk kelompok petani, koperasi dan badan usaha milik desa saat ini baru mencapai 20 sertifikat dengan luas lahan 12.600 hektar atau 0,18 persen dari total lahan yang ada. Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung mengatakan bahwa berdasarkan indeks keberlanjutan, perkebunan kelapa sawit dari kelompok tani sudah masuk katagori berkelanjutan pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Namun dari aspek hukum dan tata kelola lahan masuk katagori tidak berkelanjutan. Legalitas kebun dari kebun swadaya menjadi penghambat. Sebanyak 76,64 persen kebun sawit petani masuk dalam kawasan hutan.

Dari 14,6 juta ha luas kebun sawit yang berada di Indonesia, yang telah dilakukan sertifikasi ISPO nya baru 5.812.600 ha atau atau baru sekitar 39,81 persen saja. Bagaimana sisanya yang 60,19 persen lainnya. Apakah masih terganjal dengan masalah isu lingkungan?.

(sumber: infosawit.com)