Pembiayaan Kelapa Sawit Guna Menghadapi Masalah yang Terjadi

canalberita.com — Jika perkebunan kelapa sawit nasional terus bertumbuh sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar global, bagaimana dengan portofolio pembiayaannya? sebab, faktor pembiayaan, menjadi dasar pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit nasional. kegunaannya, juga membantu usaha perkebunan untuk terus berkembang di masa mendatang.

Perkebunan kelapa sawit nasional yang terus bertumbuh, juga membutuhkan dukungan pembiayaan sebagai modal usahanya. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian RI, Direktorat Jenderal Perkebunan, luas areal perkebunan kelapa sawit nasional tahun 2017 lalu, telah mencapai 14,031 juta hektar dan akan terus meluas.

Keberadaannya di Indonesia, telah tersebar di berbagai pulau besar, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Luasnya perkebunan kelapa sawit nasional, juga sebanding dengan produksi minyak sawit mentah (CPO), yang telah dihasilkan pada tahun yang sama, sebesar 37,813 juta ton.

Total kredit kelapa sawit dan turunannya sejumlah Rp 427,5 Triliun, dimana perkebunan kelapa sawit mendapatkan pendanaan sebesar Rp 332,7 Triliun dan industri turunan CPO juga mendapatkan dukungan pembiayaan Rp 94,8 Triliun.

Tingginya dukungan pembiayaan dunia perbankan, terhadap perkebunan kelapa sawit di Indonesia, lantaran usaha perkebunan kelapa sawit masih memiliki prospek cerah di masa depan. Lantaran, keberadaan pasar minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, masih memiliki peluang untuk terus bertumbuh di masa depan.

Pulau Sumatera, masih menjadi pulau terbesar yang mengembangkan perkebunan kelapa sawit nasional. Hampir 60% perkebunan kelapa sawit nasional dikembangkan di Pulau Sumatera. Sebab itu, pertumbuhan ekonomi masyarakat di Pulau Sumatera, sebagian besar sangat bergantung kepada perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit.

Berikutnya Pulau Kalimantan, dimana perkebunan kelapa sawit nasional sebanyak 35% berkembang disana. Keberadaan perkebunan kelapa sawit di Pulau Kalimantan, menjadi primadona perkebunan masyarakatnya, lantaran keberadaan perkebunan kelapa sawit banyak mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.

Pulau Sulawesi sendiri memiliki sekitar 4% perkebunan kelapa sawit nasional, dimana pertumbuhan luasan perkebunan kelapa sawit tidak terlalu pesat disana. Kendati pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Sulawesi Tengah cukup pesat pertumbuhannya, dimana dominasi perkebunan kelapa sawit berasal dari perusahaan perkebunan besar swasta nasional.

Sedangkan Pulau Jawa, Maluku dan Papua masih mengalami pertumbuhan yang tidak terlalu besar. Pasalnya, Pulau Jawa sendiri sudah memiliki jumlah penduduk yang padat, sehingga sulit mengembangkan perkebunan kelapa sawit dari areal lahan perkebunan yang sangat terbatas.

Pulau Maluku dan Papua, lebih disebabkan kurangnya dukungan Pemda dan masyarakat akan keberadaan perkebunan kelapa sawit. Sebabnya, keberadaan lahan perkebunan dan keterbatasan Sumber Daya Manusia menjadi faktor penyebab utamanya. Selain itu, faktor keamanan berusaha, juga menjadi salah satu pemicunya.

 

Mengembangkan Industri Turunan CPO 

Berdasarkan data oilworld tahun 2016 silam, pertumbuhan pasar minyak nabati global setiap tahunnya masih tumbuh sebesar 11%. Sejalan dengan pertumbuhan pasar global yang cukup pesat bagi minyak nabati, juga membutuhkan pasokan minyak nabati dari CPO. Pasalnya, yield produktivitas minyak sawit, jauh lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya.

Tren kegunaan minyak sawit yang diproduksi Indonesia, juga menunjukan potensi yang terus meningkat bagi pasar domestik. Pasalnya, keberadaan produksi CPO tahun 2017 lalu sebesar 37,813 juta ton, sebanyak 70% lebih, digunakan sebagai bahan baku industri turunan CPO di dalam negeri, sehingga memberikan nilai tambah bagi ekonomi nasional.

Perkembangan industri turunan CPO beberapa tahun terakhir, juga cukup menggembirakan, pasalnya banyak refineri (pabrik minyak goreng) baru, yang dibangun di beberapa daerah. Sehingga, membutuhkan pasokan bahan baku dari CPO yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit. Semisal, Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan, yang banyak memiliki refineri baru.

Bak gayung bersambut, refineri yang beroperasi juga menumbuhkan industri turunan baru lainnya, seperti industri oleokimia di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Keberadaan industri oleokimia baru ini, menggunakan bahan baku berasal dari produk samping yang turut dihasilka refineri. Sehingga, berbagai produk turunan CPO yang dihasilkan, bisa di ekspor ke luar negeri.

Selebihnya, sebesar 30% digunakan untuk pasar ekspor guna memenuhi permintaan pasar global akan minyak sawit mentah. Lantaran, pasar global masih membutuhkan CPO sebagai bahan baku industri turunannya di beberapa negara, seperti pasar terbesar ekspor CPO yaitu India. Negara tersebut, lebih menyukai membeli produk CPO yang digunakan sebagai bahan baku industri refinerinya.

Industri refineri (pabrik minyak goreng) di Negara India, sudah lama berkembang dan membutuhkan pasokan bahan baku dari CPO yang diproduksi Indonesia. Selain refineri, India juga memiliki industri turunan CPO seperti industri oleokimia yang juga menggunakan bahan baku yang berasal dari produk samping refinerinya.

Pasar ekspor yang mirip seperti India yaitu Cina, dimana lebih menyukai produk CPO yang akan digunakan sebagai bahan baku industri turunannya. Terlebih, beberapa perusahaan asal Indonesia, telah berhasil pula, mendirikan refineri baru di Negara Cina. Dimana, produk terbesar yang dibutuhkan Cina berasal dari CPO yang dihasilkan dari Indonesia.

Sedangkan pasar industri turunan CPO, lebih digemari di negara Uni Eropa, dimana kebutuhan terbesar berasal dari industri maufactur yang berasal dari industri consumer goods. Sebab itu, pasar Uni Eropa lebih memilih bahan baku dari minyak sawit, lantaran kegunaan minyak sawit, memiliki kelengkapan mata rantai karbonnya.

Guna mengurangi resiko kegagalan, industri perbankan nasional lebih memilih nasabah potensial yang memiliki manajemen yang sudah berpengalaman. Pasalnya, melalui manajemen telah melalui masa Learning curve, sehingga memiliki kesiapan dalam menghadapi berbagai persoalan yang menghadang di masa mendatang.

Jika masalah tetap ada, maka resiko kegagalan dapat dikelola melalui manajemen handal dan berpengalaman. Disinilah, pengalaman manajemen yang dimiliki seseorang akan sangat berpengaruh terhadap keputusan manajerial yang dilakukan. Berdasarkan pengalaman manajemen yang sudah dimiliki, maka kemampuan manajerial akan sangat menentukan hasil yang dicapai.

Selanjutnya, cadangan dana yang cukup dari perusahaan perkebunan kelapa sawit, juga akan berpengaruh terhadap keberlangsungan perusahaan. Bila perusahaan memiliki cadangan dana yang cukup, dapat digunakan sebagai self financing sampai proyek selesai.

Sebab, dengan kemampuan cadangan dana yang cukup, perusahaan perkebunan dapat melakukan self financing sampai proyek yang dilakukan selesai. Jika perusahaan perkebunan kelapa sawit nasional memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka keberadaan industri kelapa sawit nasional, dalam mengatasi resiko kegagalan, akan teruji dengan semestinya.

 

(Sumber: Info Sawit)