Memberi Efek Morfin, Kratom Harus Dilarang di Indonesia

canalberita.com — Memberikan efek morfin yang merusak kesehatan manusia, kratom (mitragyna speciosa Korth) harus dilarang di Indonesia, mulai dari budidaya hingga peredaran di masyarakat. Meski secara legal, tanaman asli Indonesia ini boleh beredar, tidak ada larangan dari Kementerian Kesehatan, daya rusak kratom jauh lebih besar dibanding manfaat yang diberikan.

Kratom termasuk golongan new psychoactive substances (NPS) atau narkotika jenis baru. “Sudah selayaknya Indonesia melarang penggunaan, peredaran, dan penanaman kratom,” kata Koordinator Tim Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol (Pur) Ahwil Luthan dalam diskusi rutin Tim Ahli BNN, Jumat (30/7/2021).

Sebagai leading sector bidang narkotika, kata Ahwil, BNN perlu segera mengundang instansi terkait–seperti Kementerian Kesehatan, BPOM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, BPPT, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)–untuk membahas problematika kratom agar masyarakat mendapat pegangan yang jelas. Jika selama ini tidak ada regulasi yang melarang, apakah ke depan, larangan penggunaan kratom perlu dimasukkan dalam daftar narkotika golongan 1 oleh Kementerian Kesehatan? Masalah sosial, khususnya di daerah penanaman kratom perlu diperhatikan dan dicarikan jalan keluar.

Kratom merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang mengandung hidroksimitraginin dan memberikan efek jauh lebih kuat daripada morfin. Pada dosis rendah, kratom memberikan stimulasi pada otak manusia. Namun, pada dosis tinggi, kratom memberikan efek narkotik menyerupai morfin.

Selain di Kalimantan Barat, tanaman khatulistiwa ini dibudidayakan juga oleh para petani di wilayah lain di Kalimantan dan berbagai belahan bumi. Jika pada masa lalu, kratom hanya dikonsumsi terbatas oleh masyarakat setempat sebagai obat, sejak era narkotika merebak di seluruh dunia, tanaman ini pun memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Para petani menanam kratom untuk mencari keuntungan. Serbuk kratom yang sudah dikeringkan laris-manis. Permintaan pun datang dari luar negeri, terutama Eropa dan Amerika Serikat.

Kratom merupakan tanaman tropis dari famili Rubiaceae yang berasal dari Asia Tenggara (Thailand, Indonesia, Malaysia, Myanmar, dan Filipina) dan Papua Nugini. Kratom juga banyak tersedia di Amerika Serikat dan Eropa.

Berawal sebagai tumbuhan liar, kratom kemudian dikembangbiakkan sebagai obat berkhasiat. Di Kalimantan, kratom banyak digunakan oleh pengobat tradisional. Mereka tidak menyadari bahwa kratom dapat berefek serupa dengan narkotika. Petani sengaja menanam kratom untuk diekspor ke luar negeri karena harganya cukup mahal.

Pemerintah Daerah Kapuas Hulu, misalnya, mendorong masyarakat untuk menanam kratom menggantikan tanaman karet yang harganya terpuruk. Di Indonesia, informasi tentang bahaya kratom masih sangat terbatas. Meski BNN telah mengindikasikan kratom ke dalam kelompok NPS4, tetapi kratom masih legal ditanam dan diperjualbelikan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika tidak memasukkan kratom sebagai narkotika.

Kratom mudah tumbuh di negara tropis seperti negara-negara di Asia Tenggara. Di Thailand, Vietnam, dan Kamboja, tanaman ini sudah dibudidayakan sejak dahulu. Kini, para petani menanam kratom untuk ekspor. Ketika pasokan opiat, produk turunan dari opium di AS menurun, kratom menjadi substitusi. Banyak warga AS ke Kalimantan untuk berburu produk ini.

Data yang dihimpun Beritasatu.com menunjukkan, harga bubuk daun kratom sekitar Rp 80.000 hingga Rp 100.000 per kilogram. Konsumen bisa mendapatkan produk ini lewat berbagai e-commerce, seperti Tokopedia dan Bukalapak. Dalam kondisi yang tidak menentu ini, BNN pada 2019 memasukkan kratom ke dalam kelompok NPS. Kratom masuk kategori narkotika golongan 1, tetapi komoditas ini masih bebas ditanam dan diperjualbelikan. BNN memberikan jeda waktu dua tahun dan mulai 2022, protam resmi menjadi barang terlarang.

Kebijakan ini menuai protes para petani Kalimantan yang sudah turun-temurun memanfaatkan kratom sebagai obat tradisional dan saat ini menjadi sumber mata pencarian mereka. Menanam kratom lebih menguntungkan dibanding komoditas lain yang harganya fluktuatif. Tidak mudah bagi masyarakat untuk beralih komoditas. Apalagi merawat kratom relatif mudah. Usia enam hingga sembilan bulan, daun kratom sudah bisa dipanen dengan siklus panen 30-40 hari atau sebulan lebih.

Legalitas
Kratom termasuk ilegal di banyak negara, di antaranya Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Australia. Pada beberapa negara, yaitu Denmark, Jerman, Finlandia, Rumania, dan Selandia Baru, penggunaan kratom dikendalikan dan dimasukkan dalam schedule 1 drug. Namun, kratom termasuk legal di Indonesia, Inggris, Austria, Belgia, Yunani, Brazil, Hungaria, Irlandia, Belanda, dan Amerika Serikat, kecuali pada beberapa negara bagian, yaitu Alabama, Arkansas, Indiana, Tennessee, Vermont, dan Wisconsin.

Kratom sering disalahgunakan dan dijual dalam bentuk serbuk atau ekstrak melalui online shop, di antaranya dengan nama smoke shops. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dalam World Drug Report tahun 2013, kata Ahwil, menggolongkan kratom sebagai NPS dalam kelompok yang sama dengan khat.

Survei internet yang dilakukan oleh European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction (EMCDDA) pada 2008 dan 2011 mengungkapkan bahwa kratom merupakan suatu NPS yang paling banyak diperdagangkan. Pada dosis rendah, kratom merupakan stimulan yang dapat meningkatkan konsentrasi, perhatian, energi dan kewaspadaan. Namun, pada dosis tinggi kratom memberikan efek narkotika yang serupa dengan morfin. Drug Enforcement Administration (DEA) melaporkan bahwa kratom dapat menimbulkan adiksi dan ketergantungan. Penyalahgunaan kratom banyak terjadi di Thailand.

“Di Thailand penyalahgunaan kratom lebih tinggi daripada ganja. Oleh karena itu, Pemerintah Thailand melarang penggunaan kratom dan menggolongkan kratom pada kelompok yang sama dengan kokain atau heroin. Di Malaysia dan Myanmar, penyalahgunaan daun kratom mencapai masing-masing 1 ton pada 2011,” kata Ahwil Luthan.

Malaysia, demikian Ahwil, telah melarang penggunaan kratom sejak 2004. Kratom dianggap sama dengan ganja dan heroin. Saat ini, penyalahgunaan kratom juga terjadi di Amerika dan Eropa meskipun FDA tidak mengizinkan kratom sebagai suplemen makanan. “Penyalahgunaan tanaman ini sering terjadi karena kratom mudah didapat,” jelas mantan kepala BNN itu.

Fakta menunjukkan banyak pencandu opiat beralih menggunakan kratom karena selain mudah diperoleh, juga bisa didapat tanpa menggunakan resep. Harga kratom lebih murah dibandingkan terapi kecanduan opiat, seperti buprenorfin.

Bahaya Kratom
Kratom mengandung lebih dari 40 jenis alkaloid, di antaranya adalah mitraginin, hidroksimitraginin, painantein, spesioginin, spesiosiliatin, beberapa jenis flavonoid, terpenoid, saponin, dan beberapa jenis glikosida. Kandungan utama kratom adalah mitraginin.

Gugus hidroksil pada C-7 meningkatkan potensi analgetik hidroksimitraginin sekitar 13 kali lebih tinggi daripada morfin dan 46 kali lebih tinggi dari mitraginin, baik secara in vitro maupun in vivo. Bahaya ini sama sekali tidak disadari oleh masyatakat yang membudidayakan kratom.

Kratom dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional untuk mengatasi diare, lelah, nyeri otot, batuk, meningkatkan daya tahan tubuh, menurunkan tekanan darah tinggi, menambah energi, mengatasi depresi, antidiabetes, dan stimulan seksual. Efek kratom pada manusia tergantung dari dosis.

Pada dosis rendah, kratom mempunyai efek stimulasi, sedangkan pada dosis lebih tinggi, kratom berefek narkotika tetapi bukan zat adiktif kuat. Berdasarkan pengalaman pengguna, dosis rendah hingga sedang (1-5 gram) serbuk daun kratom memiliki efek stimulan ringan yang menyenangkan. Namun, pada dosis lebih tinggi (5-15 gram), kratom memberikan gejala, seperti senyawa opiat, yaitu berefek analgesik dan sedasi.

“Pada dosis ini, kratom mulai digunakan sebagai narkotika. Sejalan dengan beberapa efek terhadap susunan saraf pusat, kratom juga mempunyai efek antiinflamasi,” papar mantan gubernur PTIK itu.

Oleh karena mudah diperoleh, lanjut Ahwil, pengguna sering mencampurkan kratom dengan obat-obatan lain, seperti obat flu dengan harapan mendapatkan efek lebih cepat. Namun, cara ini justru berakibat fatal, yakni meninggalnya pelaku.

UNODC telah memasukkan kratom sebagai NPS yang sama dengan khat. Banyak negara, termasuk negara tetangga Malaysia, Thailand dan Myanmar, telah melarang penggunaan dan peredaran kratom. Indonesia merupakan negara pengekspor kratom dalam skala besar. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Revisi Golongan Narkotika, khat sudah dimasukkan sebagai narkotika, tetapi kratom belum dimasukkan.

Meski kratom dapat digunakan sebagai obat tradisional, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melarang penggunaan kratom sebagai obat tradisional dan suplemen makanan melalui Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK 00.05.23.3644 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan dan Peraturan Kepala Badan POM Tahun 2005 Nomor HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, serta Surat Edaran Nomor HK.04.4.42.421.09.16.1740 Tahun 2016 tentang Pelarangan Penggunaan Mitraguna Speciosa (Kratom) dalam Obat Tradisional dan Suplemen Makanan.

Sudah seharusnya dengan mempertimbangkan efek samping, dampak yang ditimbulkan, besarnya jumlah pengguna narkoba, dan larangan penggunaan kratom oleh BPOM, kratom mestinya dimasukkan ke dalam golongan narkotika dan dilarang di Indonesia.

Sejumlah langkah untuk melarang peredaran dan budidaya kratom di Indonesa sudah dilakukan. Rapat Komnas Penggolongan Narkotika/Psikotropika pada 2017 memutuskan kratom direkomendasikan sebagai narkotika golongan 1.

Pada September 2019, ada rapat pertama dan kedua yang diadakan deputi Intelkam Polhukam. Hadir pejabat dari sejumlah kementerian terkait, termasuk Kementerian Kesehatan dan Deputi Dayamas dan Kapuslab BNN. Tidak ada keputusan yang lebih maju. Regulasi masih berpedoman kepada keputusan Tim Komite Penggolongan Narkotika.

Namun, pada 31 Oktober 2019, BNN mengeluarkan surat yang ditujukan kepada para menteri Kabinet Kerja dan pimpinan kementerian dan lembaga terkait tentang sikap BNN soal peredaraan dan penyalahgunaan kratom. Rapat koordinasi yang dipimpin kepala Staf Kepresidenan pada Februari 2020 itu menyepakati urgensinya kratom dimasukkan ke dalam Narkotika Golongan 1 dengan masa transisi 5 tahun, yakni 2020-2024.

Generasi muda harus diselamatkan dari narkotika, psikotropika, dan obat terlarang (narkoba) atau narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza). Kratom adalah zat adiktif yang membahayakan kesehatan.

 

(Sumber: Beritasatu.com)