Sertifikasi dan Pergeseran Paradigma di Industri Kelapa Sawit

canalberita.com — Di Indonesia, yang merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan total produksi sekitar 51,5 juta ton pada tahun 2020, perusahaan-perusahaan kelapa sawit disini memiliki kewajiban untuk mendapatkan sertifikat keberlanjutan kelapa sawit Indonesia, atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Sejak ISPO diluncurkan pada Maret 2011 lalu, dan diberlakukan secara efektif sebulan kemudian, sertifikasi telah menjadi topik penting di kalangan industri kelapa sawit dalam membangun bisnis kelapa sawit berkelanjutan. Sertifikasi ISPO bukan saja sekedar memenuhi aspek kepatuhan atas ketentuan pemerintah, tetapi sekaligus berfungsi sebagai respon industri kelapa sawit nasional untuk memenuhi berbagai syarat dan prasyarat yang diminta para pembeli internasional atas produk-produk kelapa sawit. Tidak ada komoditas pertanian lain di Indonesia yang diwajibkan memenuhi standar sertifikasi berlapis seperti di sektor kelapa sawit.

Selain sertifikasi ISPO, produsen yang tergabung dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), harus memenuhi prinsip-prinsip dan kriteria (principles & criteria, P&C) yang disepakati para stakeholder anggotanya. RSPO didirikan sebelum ISPO, dan memiliki P&C lebih ketat dibandingkan ISPO. Meskipun ada perbedaan dalam tingkat ketelitian dari P&C yang harus dipenuhi, kehadiran kedua bentuk sertifikasi bagi industri kelapa sawit  ini perlu diapresiasi.

 

Pergeseran Paradigma

Keberlanjutan (sustainability) pada dasarnya merupakan suatu hal fundamental yang lebih dari sekedar sertifikasi. Hal ini merupakan proses terintegrasi, tentang bagaimana perusahaan menyeimbangkan aspek manusia, lingkungan, dan finansial dalam setiap keputusan bisnis. Sertifikasi lebih berperan sebagai alat verifikasi eksternal atas komitmen dan implementasi operasional, namun dalam praktek komitmen dan implementasi sehari-hari inilah yang sesungguhnya menjadi bagian terpenting.

Tujuan dari setiap pelaku industri kelapa sawit, adalah bagaimana pelaku bisnis di sektor ini bertindak beyond compliance – lebih dari sekedar memenuhi aturan atau syarat-syarat sertifikasi, melainkan menjadikan keberlanjutan sebagai sesuatu yang terintegrasi, sebuah cara ‘normal’ dalam menjalankan bisnis. Pergeseran paradigma ini datang karena industri menyadari dan menerapkan bahwa, bukanlah sertifikasi, melainkan perubahan dan perbaikan berkesinambungan pada praktek bisnisnya, merupakan kunci untuk menjadikan industri kelapa sawit yang berkelanjutan di masa depan.

Pada kenyataannya, ketika sebuah perusahaan memiliki visi keberlanjutan, lepas dari keberadaan atau ketiadaan sertifikasi, prinsip keberlanjutan ini perlu tetap berjalan di semua lini operasi perusahaan melalui implementasi pada sistem standar operasional perusahaan, dan praktek bisnis terbaik yang dilaksanakan setiap hari. Saat ini, karena sifat dari proses sertifikasi itu sendiri, masih ada kecenderungan di sebagian kalangan untuk menjadikan sertifikasi sebagai tujuan akhir.

Di sisi lain, ada perusahaan kelapa sawit yang benar-benar telah menerapkan prinsip prinsip berkelanjutan sebagai bagian integral dari kegiatan operasional mereka, dimulai dari proses mendapatkan izin untuk berproduksi, hingga saat ketika pembeli mendapatkan produk mereka.

Kerangka dari sebuah perusahaan kelapa sawit berkelanjutan terbentang diantara tiga pilar perusahaan, yakni manusia (people), lingkungan (planet) dan keuntungan (profit). Pilar manusia dimaksudkan sebagai pembangunan sosial, sedangkan pilar lingkungan mengandung visi perusahaan untuk mencari upaya terbaik di semua lini bagi aspek lingkungan. Sedangkan pilar profit berkaitan dengan bagaimana menciptakan bisnis yang tak hanya terus bertumbuh, tapi juga menghasilkan nilai bagi pemegang saham.

Tiga pilar berkelanjutan ini diimplementasikan dari hulu ke hilir pada operasi perusahaan. Dimulai dari kegiatan selama fase awal untuk mendapatkan perizinan, hingga kegiatan di hilir seperti distribusi dan layanan pasca-penjualan. Disini, sertifikasi lebih berfungsi sebagai alat kontrol atas proses bisnis yang dilakukan, dan tak semata dijadikan tujuan akhir.

 

Dukungan Berbagai Pemangku Kepentingan

Karena keberlanjutan merupakan ekosistem besar yang melibatkan banyak pemangku kepentingan, salah satu kunci keberhasilannya ialah tersedianya kerangka kebijakan yang mendukung di tingkat lokal.

Beberapa pemerintah daerah, yang terbaru seperti di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, mengeluarkan peraturan daerah tentang konservasi. Sebelumnya, Provinsi Kalimantan Tengah juga mengeluarkan peraturan berisi sanksi terkait praktek berkelanjutan industri kelapa sawit di wilayahnya. Kebijakan-kebijakan lokal seperti ini, merupakan contoh-contoh yang baik dan dapat mendorong praktik keberlanjutan oleh industri kelapa sawit nasional, selama diikuti oleh suatu tata laksana penunjang yang memberikan penghargaan bagi perusahaan yang secara konsisten menjalankan peraturan-peraturan daerah tersebut.

Semua elemen nasional dan internasional industri kelapa sawit di Indonesia perlu memahami adanya perubahan paradigma terkait sertifikasi ini, sehingga dapat berperan lebih baik dari sekedar memperoleh sertifikat, namun berkomitmen kuat untuk menjalankan roda bisnis perusahaan mereka, dengan tak hanya memenuhi tetapi melampaui peraturan yang ada.

Industri kelapa sawit di Indonesia menyadari bahwa keberlanjutan merupakan proses yang selalu meninggalkan ruang untuk perbaikan berkelanjutan. Peran pemerintah sangat dinantikan oleh industri ini, guna sebaik mungkin dapat memenuhi, dan jika mungkin, melebihi harapan pelanggan. Jika dilakukan dengan  benar, dengan komitmen yang kuat dan peningkatan yang terus-menerus, kinerja industri kelapa sawit Indonesia akan berhasil meningkatkan standar dan praktek-praktek bisnis berkelanjutan yang dijalankannya, sehingga pada gilirannya dapat semakin bersaing di pasar global.

*) Dr. Haskarlianus Pasang meraih gelar Ph.D di bidang Civil and Environmental Engineering dari Melbourne University Australia (2006), dan sebagai Co-Chairman 5th International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) 2016.

 

 

(Sumber: Info Sawit)