Kelapa Sawit Indonesia Cenderung Memperoleh Diskriminasi

canalberita.com--Diungkapkan, Senior Advisor for Climate Change & Sustainability SPOSI – KEHATI Foundation, Diah Suradiredja, dibandingkan dengan negara penghasil minyak nabati besar lainnya, Indonesia memiliki luas pertanian terendah ke-2 dibandingkan dengan luas daratan setelah Malaysia.

Kondisi ini, kata Diah, memperlihatkan dimana Indonesia harus mencukupi pangan untuk 257 juta jiwa (8,5x Malaysia) dengan luas lahan pertanian yang rendah.

“Meskipun kelapa sawit menempati areal perkebunan yang lebih kecil dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, Indonesia tetap berkomitmen untuk mendukung pengelolaan perkebunan berkelanjutan termasuk dengan penerapan praktik keberlanjutan yang terstandarisasi,” tutur Diah.

Bahkan kelapa sawit memiliki peran dalam mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Pengurangan emisi merupakan salah satu prioritas utama Indonesia menyusul kesepakatan COP 21 Paris. Beberapa strategi telah diambil dan lebih banyak gerakan akan dieksekusi hingga bisa mencapai target.

Namun dalam perkembangannya dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati dan energi terbarukan, industri kelapa sawit terus memperoleh tindakan diskriminasi dari berbagai pihak, dengan beragam isu semisal dugaan bahwa kelapa sawit menyebabkan deforestasi, dugaan pembukaan lahan perkebunan sawit menyebabkan berkurangnya stok karbon, munculnya trade berrier atau Hambatan perdagangan, kelapa sawit menyebabkan kebakaran hutan dan lahan dan tindakan penganiayaan lainnya terhadap kelapa sawit.

Termasuk munculnya kampanye hitam di pasar Uni Eropa (UE) dengan memberikan label khas “Non-Palm Oil”, atau lebih dikenal dengan NPO. padahal praktik boikot minyak sawit di kawasan Eropa bukanlah solusi karena berdampak pada jutaan orang yang menjalani kehidupan di industri kelapa sawit,” kata Diah.

Lebih lanjut kata Diah, kampanye negatif terhadap minyak sawit telah berkembang sedemikian rupa sehingga cenderung melanggar peraturan UE itu sendiri. Meskipun EU memiliki aturan yang melarang tindakan yang tidak adil atau diskriminatif, negara-negara anggota EU tampaknya terkesan melakukan pembiaran iklan yang menyesatkan tersebut.

“Untuk itu, Indonesia perlu mengimbau UE untuk menegakkan aturannya sendiri, terutama agar perdagangan sawit dan produk turunannya tidak mendapat tindakan diskriminatif. Lantas, semua tuduhan buruk terhadap sawit di atas tidak memiliki penelitian fundamental yang kuat, kebanyakan hanya berupa opini publik dan dirilis untuk menghibur kepentingan pihak tertentu,” catat Diah.

Sumber: infosawit.com