Hindari Masalah Hukum, Debt Collector Wajib Bersertifikat

canalberita.com — Maraknya penarikan kendaraan yang dilakukan debt colecctor secara premanisme dan kekerasan menjadi sorotan OJK.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan kepada seluruh perusahaan pembiayaan untuk bijak dalam menagih debitur yang menunggak, terkait dengan hak dan kewajibannya.

Kepala eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank, sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK, Riswinandi Idris mengaku kerap mendengar kabar para penagih utang atau debt collector yang melaksanakan tugasnya dengan cara yang tidak baik.

“Pada praktiknya kami kerap menerima kabar yang kurang mengenakkan, di mana proses penarikan disertai perbuatan yang tidak menyenangkan, yang katanya dilakukan oleh debt collector,” ujarnya, dalam diskusi virtual, yang dikutip, Selasa (27/7).

Bahkan, menurut dia, perbuatan yang dilakukan debt collector itu berpotensi menimbulkan risiko hukum, antara lain berupa ancaman, kekerasan, tindakan yang bersifat mempermalukan, bahkan perlakuan secara fisik maupun verbal.

“Kami juga memandang proses penagihan yang dilakukan debt collector harus memperhatikan aspek-aspek yang berpotensi dapat menimbulkan risiko hukum.

Di antaranya penagihan dilarang menggunakan ancaman, kekerasan atau tindakan bersifat mempermalukan, dan juga secara fisik maupun verbal,” paparnya.

Dengan fenomena itu, Riswinandi mengimbau kepada seluruh perusahaan pembiayaan yang masih melakukan parktik tersebut agar dapat segera melakukan evaluasi. Jika tidak, citra perusahaan pembiayaan akan terus menjadi buruk di mata masyarakat.

“Hal ini tentu saja kurang baik, dan akan dapat berimplikasi negatif terhadap image perusahaan atau industri pembiayaan secara umum,” ujarnya.

Riswinandi menjelaskan, dalam proses penagihan ke debitur, debt collector diwajibkan membawa sejumlah dokumen. Dokumen yang perlu dibawa debt collector ialah kartu identitas, sertifikat profesi dari lembaga resmi, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, dan bukti jaminan fidusia.

“Dokumen itu harus senantiasa dibawa, dan digunakan untuk memperkuat aspek legalitas hukum ketika dilakukan upaya penarikan,” ucapnya.

Sementara itu bagi perusahaan pembiayaan, sebelum melakukan aksi penagihan dan penarikan jaminan diwajibkan untuk mengirim surat peringatan terlebih dahulu kepada debitur, terkait dengan kondisi kolektabilitas yang sudah macet. “Sehingga tidak ada lagi dispute,” terangnya.

Mengacu kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, perusahaan pembiayaan diperbolehkan bekerjasama dengan pihak ketiga dalam melakukan penagihan utang.

Meski demikian, Riswinandi menyatakan, pada pelaksanaannya debt collector selaku pihak ketiga kerap kali melakukan penagihan dilakukan dengan aksi yang tidak menyenangkan.

Sehingga, OJK meminta kepada perusahaan pembiayaan sebagai pihak kreditur untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap prosedur penagihan yang dilakukan debt collector. “Jika memang diperlukan, perusahaan pembiayaan boleh memberikan sanksi kepada pihak ketiga atas pelanggaran ketentuan yang berlaku,” tukasnya.

Multifinance Masih Marak Lakukan Penarikan Kendaraan

Penarikan unit kendaraan nasabah yang dilakukan perusahaan multifinance masih banyak terjadi. Hal itu menyusul terjadinya gagal bayar nasabah, terlebih di tengah kondisi pandemi covid-19 yang berdampak pula pada kemampuan ekonomi.

PT CIMB Niaga Auto Finance (CNAF) misalnya yang mengaku telah melakukan penarikan sebanyak 483 unit kendaraan hingga Juni 2021. Jumlah itu naik dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 327 unit.

“Jadi ada peningkatan pengembalian unit nasabah sebanyak 156 kendaraan hingga periode Juni 2021. Per bulan rata-rata ada di kisaran 75-100 unit,” ujar Presiden Direktur CNAF, Ristiawan Suherman, kepada Kontan, Selasa (27/7).
Setelah dilakukan penarikan, menurut dia, biasanya unit yang sudah dikembalikan terhadap akan dijual secara lelang terbuka yang dilakukan oleh balai lelang, baik secara fisik atau dilakukan secara lelang online. Dari total penarikan tersebut, sebanyak 420 unit dijual secara lelang offline, sedangkan 63 unit lainnya dilakukan secara online.

Dari unit yang sudah berhasil dijual secara lelang, Ristiawan menyebut, hasilnya dapat menutup sisa utang nasabah, dan tercatat sebagai pelunasan, sehingga tidak akan tercatat lagi dalam non performing financing (NPF). Sehingga, CNAF masih mampu menjaga NPF di level 1,43 persen di Juni 2021.

“Karena kami melakukan asesmen cukup ketat untuk profil nasabah, maka kebanyakan penarikan dilakukan atas kesepakatan bersama. Mereka memilih mengembalikan unit dulu, dan nanti saat pandemi sudah mereda mereka akan mengajukan kredit kembali,” jelasnya.

Ada juga Mandiri Utama Finance (MUF) yang kini setiap bulan rata-rata melakukan penarikan kendaraan sebanyak 900 unit. Hanya saja, jumlah itu dinilai masih berada di level yang sama dengan bulan-bulan sebelumnya, yang berarti tidak ada peningkatan maupun penurunan.

“Unit-unit yang sudah ditarik tersebut selalu dilelang untuk menjaga proses yang memenuhi compliance dan transparansi,” ujar Direktur Utama MUF, Stanley Setia Atmadja.

Kesulitan

Adapun, Direktur Utama BCA Finance, Roni Haslim menyatakan, pihaknya terkadang masih banyak mengalami kesulitan untuk melakukan penarikan kendaraan bermotor. Padahal, perusahaan selalu mencantumkan perjanjian penarikan kendaraan bermotor dalam kontrak yang dibuat.

“Banyak kasus penarikan unit sudah dipindahtangankan ke pihak lain, seperti digadaikan,” ujarnya.

Padahal, menurut dia, penarikan unit-unit kendaraan itu jika berhasil dilakukan dan berhasil dilelang akan berdampak terhadap perbaikan nilai NPF perusahaan.

Asal tahu saja, NPF BCA Finance hingga Juni 2021 mencapai level 4,24 persen, sementara target akhir tahun bisa terjaga di 3,39 persen.

Adapun, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno mengungkapkan, sejatinya pemain multifinance paling tidak mau untuk melakukan penarikan unit kendaraan.

Ia menyebut, lebih baik nasabah mengajukan penundaan bayar atau restrukturisasi terhadap perusahaan. “Lebih baik kami sebenarnya ingin itu restruk atau rescheduling untuk penundaan bayar. Bayar berapapun yang penting kami dapat (uang-Red),” tukasnya.

Suwandi berujar, sebelum melakukan penarikan, perusahaan pembiayaan terlebih dahulu memberikan beberapa kali surat peringatan. Jika pun harus ada penarikan, diwajibkan untuk dilakukan dengan sebaik mungkin sesuai dengan prosedur yang ada.

(Sumber: Tribun News)