Diplomasi Kelapa Sawit Tingkat Global Dipertajam

canalberita.com — Minyak kelapa sawit telah digunakan oleh banyak negara sebagai bahan dasar untuk berbagai produk.

Hampir di segala aspek kehidupan manusia sehari-hari, tidak pernah lepas dari produk-produk ini. Mulai dari kegiatan masak-memasak di dapur, mandi, perawatan tubuh dan kecantikan, pengisian bahan bakar, valentine, hingga makan mie instan. Semuanya, sedikit atau banyak berkaitan dengan minyak kelapa sawit.

Namun, dibalik dekatnya minyak kelapa sawit pada kehidupan manusia. Tidak jarang, berdampak negatif terhadap hutan dan lingkungan.

Dalam beberapa kasus bahkan, rumah untuk satwa langka dan biodiversitas tinggi, rusak karena dikonversi menjadi kebun sawit. Demikian pula untuk kebun sawit yang dibangun di atas lahan masyarakat lokal tanpa sepengetahuan mereka, sampai-sampai ada yang diusir secara paksa dari lahanya sendiri.

Termasuk, pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan lainnya.

Namun terlepas dari banyaknya laporan terhadap kasus-kasus tersebut. Organisasi dunia, lembaga pemerintah, dan organisasi-organisasi lain yang berkepentingan, kini tengah mendorong agar minyak kelapa sawit yang di diproduksi berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan. Alhasil, beberapa perusahaan dan petani kini mulai mengadopsi praktik-praktik yang berkelanjutan dalam pengelolaan kebun maupun produksi minyak kelapa sawitnya.

Meski dihantam persoalan kesehatan dan lingkungan yang menjadi ketentuan Uni Eropa, menekan ekspor minyak sawit Indonesia ke negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Namun, permintaan minyak sawit dari Indonesia tetap tinggi.

Kondisi tersebut sejalan dengan tren produksi dan konsumsi minyak nabati global yang cenderung meningkat, dimana komposisi pasar minyak nabati dunia didominasi minyak sawit, soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil.

Meningkatnya permintaan ini juga lantaran terus terdongkraknya pertumbuhan jumlah penduduk duniadi, jika ditahun 2025 diperkirakan populasi di dunia akan mencapai 8,18 miliar orang, maka di 2045 diprediksi akan sebanyak 9,45 miliar penduduk.

Dikatakan Koordinator Fungsi Pertanian dan Pengembangan Komoditas, Direktorat Perdagangan, Komoditas, dan Kekayaan Intelektual, Ditjen Kerja Sama Multilateral, Kementerian Luar Negeri RI, Novi Dwi Ratnasari, perlu keseimbangan dalam produksi minyak nabati berkelanjutan dan pemenuhan permintaan konsumsi global guna menghindari terbebaninya global land bank.

Khusus untuk minyak sawit, terdapat tiga nilai startegis dari komoditas ini, pertama, merupakan bahan baku penting untuk berbagai industri global, utamanya industry makanan, kosmetik, sabun, hand sanitizer sampai dengan renewable energy (biodiesel).

Kedua, mendukung upaya pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) sesuai UN Agenda 2030  termasuk dalam hal menghapus kemiskinan (SDG 1), mewujudkan ketahanan pangan dan nutrisi (SDG 2), menciptakan lapangan pekerjaan (SDG 8), dan seterunya.

Ketiga, sebagai sumber devisa negara untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dimana kata Novi, nilai ekspor kelapa sawit Indonesia Januari-November 2020 mencapai US$ 18,35 miliar, menyumbang 13,16% terhadap total ekspor non migas atau 12,5% terhadap total ekspor Indonesia.

Saat ini, kata Novi, nilai jual kelapa sawit sedang meningkat, misalnya saja harga jual kelapa sawit global pada Pekan III Maret 2021 mencapai US$ 1.158/ ton atau menguat 88% dibanding harga minyak sawit tahun lalu pada periode yang sama.

“Ini terjadi akibat turunnya cadangan minyak sawit di pasar internasional khususnya di negara – negara importir sekitar 26% sejak 2019, lantas menguatnya tren harga minyak nabati global, dan dampak cuaca buruk terhadap tingkat produksi di negara-negara produsen kelapa sawit,” tutur Novi dalam Webinar bertajuk “Permintaan Pasar Minyak Kelapa Sawit dan Diplomasi Indonesia Dalam Pasar Global” yang dihadiri InfoSAWIT, akhir Maret 2021 lalu.

Hanya saja, disaat harga minyak sawit dunia yang terus menguat, masih banyak tantangan diplomasi sawit Indonesia yang muncuk, terlebih ada proyeksi ketidakstabilan kondisi ekonomi global, khususnya dampak pandemi Covid-19,  fluktuasi harga komoditas, hambatan perdagangan (meningkatnya proteksionisme), serta disrupsi rantai nilai produksi dan suplai.

 

(Sumber: InfoSAWIT)