Analis BRI: Produksi Minyak Sawit Tumbuh Signifikan Hingga Kuartal I-2022

canalberita.com–Guna meningkatkan daya saing komoditas kelapa sawit di pasar internasional, pemerintah menurunkan tarif pungutan ekspor (PE). Dengan demikian beban eksportir sawit yang semula mencapai 36,40% dari harga produk menjadi maksimal 30%. Ketentuan tertuang dalam PMK 76/2021 yang diterbitkan pada 25 Juni 2021 dan berlaku mulai 2 Juli 2021.

Dengan telah direvisi dan ditandatanganinya tarif PE tersebut, emiten produsen minyak sawit diprediksi bakal mencetak pertumbuhan laba dua digit pada tahun ini. Kinerja emiten minyak sawit juga bakal ditopang oleh peningkatan permintaan dalam negeri dan pasar ekspor serta tren harga yang masih tinggi.

Dilansir dari investor.id, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), produksi minyak sawit sepanjang Januari-April 2021 telah mencapai 15,25 juta ton dengan sisa stok awal tahun 4,87 juta ton tersedia suplai 20,14 juta ton. Dari suplai tersebut, sebanyak 6,19 juta ton untuk konsumsi domestik, dengan rincian masing-masing 3,18 juta ton untuk pangan, 682 ribu ton untuk oleokimia, dan 2,33 juta ton untuk biodiesel.

Emiten perkebunan kelapa sawit
Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul “Laba Emiten Sawit bakal Tumbuh Dua Digit”
Read more at: https://brt.st/7gY6

Sementara itu, pada periode Januari-April 2021, ekspor minyak sawit mencapai 10,79 juta ton dengan rincian 1,15 juta ton dalam bentuk CPO dan sisanya olahan, termasuk biodiesel dan oleokimia. Sedangkan sisanya untuk stok akhir bulan. Sepanjang Januari-April 2021, kenaikan ekpor terbesar terjadi ke Tiongkok sebesar 78%, Malaysia 61%, Uni Eropa 56%, Filipina 37%, Rusia 26%, dan Bangladesh 17%. Sedangkan penurunan ekspor terbesar terjadi ke Vietnam 51%, India 31%, Singapura 31%, Amerika Serikat 28%, dan Myanmar 21%.

“Sebagian besar destinasi utama ekspor Indonesia tetap membukukan kinerja positif, meski memang India negatif, Belanda negatif, Myanmar negatif. Kalau India turun karena lockdown akibat lonjakan Covid-19 yang kedua. Tapi secara umum positif. Dan sepanjang tahun ini kami masih yakin ekspor bisa 35,12 juta ton atau naik 3,27% dari 2020,” kata Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono dalam diskusi daring, belum lama ini.

Analis PT BRI Danareksa Sekuritas, Andreas Kenny mengatakan, pihaknya optimistis seluruh emiten sawit akan membukukan pertumbuhan laba double digit yang bisa melebihi 50% pada tahun ini. Hal itu karena membaiknya harga, produksi yang sudah kembali bertumbuh, dan pemotongan pungutan ekspor yang dapat menambah pertumbuhan laba emiten sawit sekitar 20-40%.

Dia menambahkan, kinerja emiten sawit juga akan dipengaruhi oleh produksi dan harga. Untuk produksi minyak sawit Indonesia, dia melihat pertumbuhan yang signifikan di semester II-2021 hingga kuartal I-2022 karena efek La Nina dan kemarau yang relatif basah tahun ini.

Sedangkan produksi Malaysia masih terkendala kurangnya tenaga kerja dan usia sawit yang sudah tua. Di sisi lain, dia menilai produksi kedelai Amerika Serikat (AS) saat ini masih terpengaruh kekeringan sehingga produksinya akan kurang optimal. Sedangkan harga minyak mentah cukup tinggi di atas US$ 70 per barel dapat membantu meringankan selisih harga unsur nabati (fatty acid methyl ester/FAME) dan solar untuk program B-30, sehingga pungutan ekspor pun turut diturunkan US$ 80 per ton dengan harga sekarang sehingga menguntungkan pemain sawit dan juga petani.

“Risiko terbesar ada di dolar AS yang menunjukkan tanda-tanda penguatan mengantisipasi inflasi yang cukup tinggi di sana tetapi the Fed masih cukup dovish untuk saat ini, sehingga masih membantu harga seluruh komoditas,” ujar Andreas, Rabu (30/6).

Dia merekomendasikan investor bisa memperhatikan saham emiten DSNG dengan target price (TP) 900 dan SSMS dengan TP 1.900 karena ESG dan umur yang muda. “Saham TAPG pun menarik untuk dicermati dengan alasan yang sama. Sedangkan untuk likuiditas yang memadai yakni LSIP dengan TP 1.850 dan AALI dengan TP 17.500,” ujar dia.

Di sisi lain, Founder Traderindo. com, Wahyu Laksono mengatakan, harga crude palm oil (CPO) tahun ini sangat bagus seiring harga komoditas energy oil. Menurut dia, komoditas CPO diuntungkan oleh tren terkait biodiesel. Walaupun harganya terjadi koreksi yang wajar, namun harga energi dan perkebunan khususnya CPO tidak korelatif dengan emitennya.

“Bursa kita termasuk yang lemah dibandingkan emerging market apalagi AS dan Eropa. IHSG cenderung tertahan dan rentan koreksi di bawah 6.000. Khususnya emiten perkebunan, justru harga sahamnya tertekan sejak awal tahun, seperti AALI dan LSIP,” ujar dia.

Wahyu menilai, outlook harga saham emiten perkebunan masih dalam tren melemah namun mendekati posisi low 2020, sehingga memberikan potensi buy on weakness di semester II-2021.

(RedCNB)