Kemenangan Sang Petani – Kisah Titik Balik Seorang Petani Sawit

Oleh : Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)

INDONESIA adalah negara agraris. Realitas tersebut tak terbantahkan dan telah menjelma menjadi sebuah fakta. Sejarah Indonesia bahkan mencatat dengan jelas. Bahwa sejak masa kolonial sampai saat ini Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian. Pertanian menjadi bagian penting dari sumber penyediaan lapangan kerja maupun penyumbang bagi kontribusi penerimaan negara. Tentu saja pertanian dalam arti luas.

Sektor pertanian memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas sosial, ekonomi dan budaya masyarakat petani. Bukan hanya petani di Jawa saja, melainkan juga petani di berbagai wilayah Indonesia. Seperti Sumatera dan Kalimantan.

Persoalannya, dalam beberapa tahun terakhir tengah berlangsung dinamika ekologi budaya petani di desa-desa di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Tiga Provinsi –Riau, Jambi dan Kalimantan Barat- yang selama tiga minggu di bulan Pebruari 2020 saya kunjungi. Untuk melihat proses perubahan sosial, ekonomi dan budaya para petani desa hutan. Kebetulan berbagai desa di ketiga wilayah yang saya kunjungi tersebut memang termasuk desa di dalam dan di sekitar kawasan konsesi IUPHHK-HT maupun korporasi perkebunan kelapa sawit.

Menjadi bagian dari sebuah program kelola sosial manajemen perusahaan HTI. Baik dalam konteks peningkatan sosial ekonomi, maupun resolusi konflik melalui pendekatan kesejahteraan. Yang tak kalah penting, upaya pencegahan serta penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Bencana ekologi yang kini menjelma menjadi issue krusial di tingkat nasional maupun global.

Sawit dan Perubahan Ekologi Budaya Petani

Selama hampir dua dekade, para petani di Indonesia -khususnya di wilayah luar Jawa- dibombardir dengan usaha – usaha perkebunan. Komoditas petani yang dominan diusahakan selama bertahun-tahun adalah kebun karet. Ekologi pertanian ladang warga lokal yang diikuti dengan pengembangan kebun karet berkembang sejak dekade 1980-an berubah drastis. Tatkala komoditas kelapa sawit masuk dan mulai diperkenalkan oleh korporasi. Juga oleh para petani sawit warga pendatang yang umumnya berasal dari Jawa dan Sumatera Utara.

Senyampang dengan ambruknya harga komoditas karet di tingkat petani hampir setu dekade terakhir, dominasi tanaman sawit sebagai primadona pertanian kebun kian sempurna. Hingga akhirnya, tiada lahan petani yang tidak ditanami kelapa sawit. Bukan hanya di areal paska pembukaan ladang atau konversi kebun karetnya. Namun bahkan di lahan-lahan pekarangan petani. Pendek kata, tiada lahan yang bebas sawit. Termasuk tentu saja kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan. Juga di dalam kawasan konsesi perusahaan HTI sekalipun.

Potret itulah yang juga menjadi ilustrasi kehidupan seorang petani yang saya temui di desa Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, Riau, awal Pebruari 2020 lalu. Adalah Suryono, seorang petani kebun sawit. Silsilah kekerabatannya masih tergolong Putra Jawa Kelahiran Sumatera alias Pujakesuma. Suryono lahir di Sumatera Utara. Pada tahun 2000 Ia pindah dari Medan dan bermukim di Kabupaten Siak, Riau.

Sejak 2004 menjadi petani sawit dengan luas lahan ± 2 hektar. Suryono tertarik dengan gambaran nikmatnya usaha kebun sawit. Mirip dengan usaha kebun karet, bersusah payah selama ± 3 – 4 tahun sebagai investasi awal. Setelah itu menikmati hasil perjuangannya.

Panen setiap 2 minggu sekali dalam sebulan. Suryono berhasil diyakinkan kebun sawitnya akan mampu mencukupi pemenuhan hidupnya. Kelebihan lain dari kebun sawit yang membuat Suryono jatuh hati adalah soal pemasaran. Keberadaan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang banyak ditemui memastikan bahwa tidak satu biji pun TBSnya yang tidak akan terjual. Disamping harga jual komoditasnya diyakini juga akan relatif stabil.

Suryono hanya melihat nikmat dan mudahnya berkebun sawit. Ia lupa, bahwa kebun sawit juga membutuhkan pemupukan (baca : investasi) dalam jumlah besar. Disamping perawatan yang intensif. Empat tahun investasi zonder panen, membuat Suryono pontang-panting mencari pendapatan dari kerja serabutan. Pada akhirnya, kebun sawitnya kurang terawat. Sementara kerja serabutan juga tidak menghasilkan kecukupan pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya. Itulah gambaran nyata seorang petani sawit dengan keterbatasan lahan di desa hutan.

Saat panen tiba, ternyata produksi TBS-nya tidak sesuai harapan. Setiap bulan hanya menghasilkan sekitar 2 ton TBS. Tentulah secara ekonomi jauh dari kecukupan. Mimpi hidup nikmat menjadi petani sawit pun jauh dari harapan. Kondisi lahannya tersandera ekonomi sawit. Tak bisa lagi dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian lain. Membentur tembok. Dengan situasi dilematis. Bak pepatah, ibarat kerakap tumbuh di batu. Hidup segan mati tak mau.

Bukan hanya itu kenyataan pahit lainnya. Suryono harus membeli semua kebutuhan pokoknya. Mulai dari beras, sayur, hingga bumbu dapur. Sungguh sangat ironis. Lahannya sudah tak bersisa. Semua ditanami tanaman sawit sehingga tidak lagi memungkinkan ditanami tanaman lainnya. Sesungguhnya, profesi Suryono sebagai petani sudah lama tak layak disandang. Ia benar-benar jauh dan tak bersentuhan lagi dengan lahan pertanian. Sungguh mencerminkan potret kekalahan manusia petani (Soetomo, 1997).

Titik Balik Perubahan

Situasi hidup segan mati tak mau, membuat Suryono harus memutuskan. Hidup berkekurangan sebagai petani sawit yang tak pernah lagi bersentuhan dengan lahan dan tegakan sawitnya. Atau kembali menjadi petani yang sesungguhnya. Petani hortikultura.

Sama sekali tak mudah memilih. Apalagi memutuskan. Adalah Sulaini, sang istri yang merasa keberatan. Sang istri khawatir, perubahan menjadi petani hortikultura sama halnya dengan sebuah perjudian. Sesuatu yang sudah nyata dilepas (baca : sawit), sementara hal lain yang diharapkan belum jelas. Karena itu, Sulaini belum mendukung keputusan Suryono. Untuk mengkonversi kebun sawitnya kembali menjadi lahan pertanian konvensional. Pertanian hortikultura.

Suryono tidak mudah menyerah. Ia tetap berikhtiar. Jalan tengah yang ditempuh adalah menjarangi pelepah sawit, agar di sela-sela kebun sawitnya bisa masuk sinar matahari. Sehingga ada secuil lahan yang bisa ditanami.

Suryono pun bereksperimen. Melalui program ekonomi kerakyatan yang digagas IUPHHK-HT PT. Arara Abadi. Dimulailah penanaman sayur – sayuran. Seperti terong, gambas, selada, bayam, cabe dan berbagai komoditas hortikultura lainnya.

Hasilnya ternyata cukup memuaskan. Bahkan diluar dugaan. Panennya bagus. Penerimaan pasar juga luar biasa. Setiap kali panen -baik harian maupun mingguan- semua hasil panen Suryono terserap pasar. Bahkan konsumen selalu kekurangan.

Menjadi Petani Mandiri

Atas fenomena di atas, dan didorong oleh tawaran program Desa Makmur Peduli Api (DMPA) dari perusahaan yang sama, PT. Arara Abadi pada tahun 2016, Suryono meyakini sepenuhnya. Inilah momentum perubahan besar yang diharapkan. Sebuah program yang menggabungkan secara sinergis dan berkesinambungan pilar-pilar sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dengan potensi biofisik lahan maupun lingkungan desa.

Suryono memutuskan tanpa keraguan. Didukung sepenuhnya sang istri, Sulaini, Ia menebang satu per satu tegakan sawitnya. Hingga akhirnya benar-benar terkonversi habis sama sekali. Kemudian merubah bentang kebun sawitnya menjadi sebuah lahan pertanian hortikultura.

Suryono memilih mengkombinasikan pertaniannya dengan tanaman kehutanan. Ia menggunakan pendekatan sistem wana tani (agroforestry). Menggabungkan tanaman hortikultura yang menghasilkan panen harian, mingguan, hingga bulanan. Dengan tanaman keras dan pepohonan yang bersifat tahunan. Dalam sebuah hamparan lahan. Seluas kurang lebih dua hektar. Tentulah luasan yang lebih dari cukup untuk bisa bertani secara optimal.

Inti keberhasilan perubahan tersebut adalah fenomena Suryono yang telah lebih dari satu dekade berkebun sawit dengan berbagai karakter sosial, ekonomi dan budayanya bergeser menjadi petani hortikultura. Bukan hanya berdampak nyata secara sosial ditengah interaksi komunitas petani sawit, namun juga memberikan perubahan besar yang jauh lebih baik secara ekonomi. Jauh lebih sejahtera.

Pun, yang tak kalah fenomenal adalah perubahan Suryono secara sosial budaya. Suryono kini berhasil menggapai kebebasan dan kemandirian. Bukan hanya lepas dari kepungan kemiskinan yang bersifat akut. Lebih dari itu, Suryono bebas pula dari jeratan tengkulak, sistem ijon yang menghisap maupun berbagai narasi buruk petani desa hutan pada umumnya.

Refleksi tingkat kesejahteraan dan kemandirian Suryono bahkan dibuktikan dengan tingkat pendapatan yang mencapai 8 kali lebih tinggi dari pendapatan yang diterimanya dari kebun sawit. Yang lebih mencegangkan, pendapatan dari hasil pertanian hortikultura juga lebih beragam dengan penerimaan harian, mingguan dan bulanan. Bukan hanya itu saja. Kini Suryono juga mampu mempekerjakan 7 orang pekerja untuk mengolah lahan pertaniannya. Benar – benar sebuah keberhasilan nyata. Bukan main.

Empat tahun sejak mengkonversi kebun sawitnya, hari ini Suryono bahkan berhasil menjadi seorang petani yang merdeka. Bebas untuk menjual kepada siapapun komoditas hasil pertaniannya. Suryono bahkan mulai mengorganisir para petani di kampungnya, untuk selalu menjual produk hasil pertaniannya di pasar lokal. Kini tercatat, 60 % penjual komoditas pertanian di pasar adalah para petani langsung. Bukan pedagang. Apalagi para tengkulak.

Suryono secara perlahan namun pasti juga berhasil mentransformasikan dirinya sebagai seorang aktivis petani mandiri di kampungnya. Menularkan “virus” bertani hortikultura secara mandiri. Bahkan atas kemampuannya mempengaruhi berbagai kalangan warga, Suryono pun didaulat menjadi narasumber di berbagai forum dan kesempatan. Tentu untuk berbagi pengalaman akan keberhasilannya. Bukan hanya skala lokal. Namun juga nasional bahkan di forum global.

Sebuah status yang dulu hanya menjadi mimpi. Bahkan mitos belaka. Hari ini sungguh menjelma menjadi sebuah kisah nyata. Bukan saja inspiratif, namun juga mencerahkan bagi para petani dan warga masyarakat lainnya. Ya, Suryono yang dulu terseok dan keok, bahkan kemudian terperosok, kini berhasil bangkit. Bahkan mampu meraih kemenangan sebagai seorang petani. Berhasil meraih kesejahteraan. Berhasil pula mewujudkan kemandirian dan kebebasan. Merdeka dari semua ketidakberdayaan petani. ***

Sumber:sebijak.fkt.ugm.ac.id