Ternyata Ini Faktor Pemicu Harga Minyak Meroket Dekati US$ 60
Jakarta, CanalBerita– Salah satu tanda pemulihan ekonomi global adalah penguatan harga minyak. Minyak merupakan salah satu sumber energi yang menjadi input bagi berbagai aktivitas ekonomi, mulai dari bahan bakar untuk transportasi darat, udara dan laut hingga input bagi sektor manufaktur seperti plastik.
Belakangan ini harga minyak mengalami tren penguatan hingga mencapai level tertingginya dalam satu tahun. Mengawali minggu ini, harga kontrak futures (berjangka) minyak mentah kembali melanjutkan tren apresiasinya.
Senin (8/2/2021) harga kontrak futures Brent naik 0,81% ke US$ 59,82/barel. Harga kontrak futures minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 0,91% ke US$ 57,37/barel. Harga si emas hitam semakin mendekati US$ 60/barel.
Peningkatan permintaan di tengah turunnya pasokan menjadi katalis positif untuk harga minyak. Pandemi Covid-19 membuat permintaan minyak mengalami penurunan signifikan. Saat lockdown pertama kali dilakukan di banyak negara Maret tahun lalu permintaan minyak ambles lebih dari 20% dan stok membludak.
Akibatnya harga minyak terjun bebas. Saking anjloknya, harga kontrak WTI sampai jatuh ke teritori negatif untuk pertama kalinya dalam sejarah. Namun keberhasilan China sebagai salah satu importir minyak mentah terbesar di dunia mengendalikan wabah Covid-19 membuat pemulihan permintaan menjadi cerah.
Ekonomi China bangkit terlebih dahulu ketika negara-negara lain terjerembab ke jurang resesi. Ekonom dan analis meyakini pola pemulihan ekonomi Negeri Panda akan membentuk kurva ‘V’.
Geliat ekonomi China membuat permintaan minyak terkerek naik. Selain China, permintaan minyak juga ikut terdongkrak oleh negara dengan populasi besar lain yaitu India.
Pemulihan permintaan minyak lebih ditopang oleh negara-negara di kawasan Asia mengingat negara Barat masih sibuk dengan lockdown yang membatasi mobilitas publik.
Tidak hanya permintaan minyak mentah saja yang mulai berangsur naik. Tren work from home (wfh) membuat perilaku konsumen mengalami pergeseran. Aktivitas belanja secara daring juga ikut menjadi faktor pendorong peningkatan permintaan minyak setelah ambrol.
Pesatnya pertumbuhan e-commerce membuat permintaan terhadap plastik dan produk-produk pengepakan lain untuk pengiriman barang naik. Tentu saja semua produk tersebut adalah turunan minyak sehingga bisa dibilang kebutuhan untuk produk olahan minyak juga mengerek naik permintaan dan harga.
Di saat permintaan berangsur membaik, produksi minyak di berbagai negara terutama negara-negara kartel yang tergabung dalam OPEC+ masih rendah. Para kartel ini berkomitmen untuk tetap menjaga defisit pasokan agar harga minyak tetap terjaga dan tidak lagi longsor.
Setelah OPEC+ sepakat memangkas hampir 10% dari total output global, harga minyak perlahan bergerak ke utara. OPEC+ baru menurunkan kuota pemotongan menjadi 8% dari output global pada Agustus.
Namun fokus OPEC+ terutama Arab Saudi tetap sama yaitu jaga gawang agar harga minyak tidak lagi kebobolan.
produksinya untuk bulan Februari dan Maret ini, guna mempertahankan defisit di pasar.
Akibat permintaan yang naik dan produksi turun, stok minyak global pun mengalami penurunan signifikan. Badan Energi Internasional (IEA) melaporkan stok minyak global telah menurun 300 juta barel sejak OPEC+ secara agresif memangkas produksinya Mei tahun 2020.
Proyeksi OPEC+ stok minyak global akan kembali terpangkas sebesar 82 juta barel di kuartal pertama ini. Tentu saja ini menjadi katalis positif untuk harga minyak di tengah upaya untuk melakukan vaksinasi Covid-19 yang sudah dimulai sejak awal tahun.
(www.cnbcindonesia.com)