Demokratisasi Dalam Budaya Antikorupsi di Birokrasi

Oleh Mutia Rizal, Analis Post-birokrasi & Executive Editor di Birokratmenulis.org

Untuk lebih memahami budaya agar mampu berperan dalam lingkungan sosial di sebuah komunitas, terlebih dahulu perlu mengetahui apa itu sistem sosial sebagai tempat berlangsungnya sebuah budaya. Sistem sosial terdiri dari berbagai pemaknaan dan tujuan, bentukan struktur, dan proses yang berkembang menjadi budaya.

Sistem sosial dapat menjelaskan budaya dari komunikasi yang terjalin dalam relasi sosialnya. Dalam komunikasi tersebut terdapat pemaknaan atas simbol-simbol budaya yang kemudian bermuara pada tindakan individu. Dapat dikatakan bahwa untuk memahami budaya dalam sistem sosial, kuncinya ada pada interaksi komunikasi.

Membentuk Budaya

Dikatakan Jan Pfiester, seorang ahli manajemen pengendalian organisasi, bahwa dalam sebuah komunitas, termasuk di komunitas birokrasi, komunikasi dapat ditangkap dan juga dibangun melalui berbagai batasan tujuan (purpose boundaries). Batasan tujuan itu dapat menjelma dalam berbagai pernyataan, mulai dari visi-misi organisasi, sampai dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Dapat dikatakan, batasan tujuan adalah batasan apa yang ada di dalam dan di luar budaya di sebuah komunitas. Terkadang batasan tujuan tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat ditangkap dari berbagai interaksi komunikasi anggota komunitas.

Purpose boundaries terdiri dari dua macam, yaitu tertutup (closed) dan terbuka (open). Mekanisme tertutup dan terbuka ini dapat diibaratkan sebagai sebuah pintu rumah. Jika pintu tertutup, maka rumah tidak dapat dimasuki. Begitu juga sebaliknya.

Batasan tertutup dapat didefinisikan sebagai suatu batasan yang membuat perilaku tertentu tidak diterima dalam suatu budaya di lingkungan sosial tertentu. Adapun batasan terbuka, didefinisikan sebagai sebuah batasan yang menerima pengaruh dari luar komunitas yang dapat mempengaruhi budaya intern. Pengaruh tersebut dapat memungkinkan adanya adaptasi lingkungan ekstern ataupun sekadar mendialogkan budaya intern dengan lingkungan ekstern.

Faktor utama penguat batasan yang bersifat tertutup adalah pemimpin komu-nitas (organisasi). Pimpinan dapat memberikan berbagai arahan organisasi. Semakin jelas arahan atau larangan, maka akan semakin kuat batasannya. Terhadap larangan tersebut, budaya sebuah organisasi telah mulai didefinisikan. Lingkungan ekstern tidak lagi mendapat tempat untuk mempengaruhi budaya yang sudah ditetapkan pimpinan. Mekanisme, prosedur, bahkan penghargaan dan hukuman telah terdefinisikan dengan jelas secara intern dan menjadi sebuah praktik hidup dalam organisasi.

Adapun dalam batasan yang bersifat terbuka (open boundaries), lingkungan lebih demokratis karena budaya yang ada dalam komunitas dapat dipengaruhi bahkan dievaluasi dengan berbagai pengaruh dari lingkungan ekstern. Dalam hal ini, budaya tidak hanya ditentukan oleh pimpinan, te-tapi lebih dipengaruhi oleh interaksi antara lingkungan internal dan eksternal. Pemimpin memiliki peran untuk mengondisikan suasana demokratis dalam memperdebat-kan kembali secara konstruktif berbagai nilai-nilai atau norma yang telah berlaku di komunitas. Artinya batasan tertutup dapat ‘didobrak’ dengan adanya batasan terbukaini. Adapun jika pemimpin tidak mengondisikan suasana demokratis, maka para anggota komunitas sejatinya dapat menyalurkannya dengan sesama anggota komunitas lainnya.

Bagaimana Sebaiknya?

Dalam hal budaya antikorupsi di sebuah institusi, sebaiknya budaya dibangun melalui dua batasan tersebut, baik terbuka maupun tertutup. Institusi birokrasi saat ini cenderung membentuk budaya hanya secara tertutup, melalui rasionalitas mo-dern birokrasi dan cenderung menolak budaya luar organisasi, sebagai misal budaya setempat (lokal), yang sebenarnya lebih mengutamakan sikap-sikap etis. Budaya antikorupsi yang dikembangkan dalam suasana tertutup biasanya mengandalkan berbagai aturan, kode etik, dan standar prosedur dengan jargon profesionalitas dan integritas. Berbagai aturan dan ketentuan juga biasanya diawasi oleh pimpinan atau satuan tugas yang disertai dengan sanksi yang tegas. Pembentukan budaya antikorupsi yang demikian sebenarnya sebuah bentukan budaya yang eliteis yang dapat terjerumus pada istilah ‘tajam ke bawah, tumpul ke atas’.

Apalagi, budaya patronase masih saja terlihat dominan di birokrasi. Budaya tersebut terbukti menciptakan kesenjangan kekuasaan yang cukup lebar antara patron(atasan) dengan client ( bawahan). Client tidak dapat leluasa mengingatkan atau melawan patron yang diketahui melakukan tindakan penyimpangan. Perilaku birokrat (client) yang ingin mempraktikkan integritasnya, seringkali tidak didukung secara kultural oleh lingkungan. Hal itu terbukti dengan adanya slogan yang diinisiasi oleh KPK, yang berbunyi “Berani Jujur Hebat!” untuk jujur dan berintegritas saja memer-lukan keberanian, hal itu mengisyaratkan bahwa budaya patronase masih sangat kuat di birokrasi.

Pembentukan budaya korupsi seyog-yanya memperhatikan hal tersebut, dan mengatasinya melalui batasan terbuka. Dalam batasan yang bersifat terbuka, budaya antikorupsi di organisasi tidak lagi bersifat eliteis atau tergantung pada pimpinan. Beruntung bagi institusi yang pimpinan-nya bersikap lebih demokratis, sehingga memungkinkan terjadinya dialog dan menemukan konsensus bersama tentang simbol-simbol yang perlu dibangun untuk membentuk budaya antikorupsi. Namun, malang bagi institusi yang pimpinannya belum memahami hal itu dan cenderung ‘lebih nyaman’ dengan suasana tertutup, budaya antikorupsi tidak mampu berkembang secara alami.

Dalam kondisi demikian, sebenarnya anggota komunitas, yakni para birokrat, da-pat berjuang membentuk budaya antikorupsi tanpa tergantung pimpinan. Para birokrat dapat juga mengambil nilai-nilai budaya lokal yang kemudian disepakati bersama dan dikembangkan bersama. Pengembangan ter-sebut dapat dimulai oleh sekelompok kecil birokrat, dengan terlebih dulu membangun konsensus di antara sesama birokrat. Kon-sesnsus tersebut diperlukan, selain untuk membangun kesepakatan juga berguna sebagai modal sosial para birokrat, yakni semacam people power untuk ‘melawan’ siapa saja, termasuk pimpinan, yang melakukan tindakan menyimpang. Pengembangan budaya ini tentu saja perlu melibatkan peran para tokoh-tokoh informal di organisasi, yang biasanya bukan pimpinan tetapi disegani oleh para birokrat.

Bentuk-bentuk simbol budaya yang dapat dikembangkan misalnya, aktivasi nilai yang telah menjadi diskursus di masyarakat lokal tentang integritas dan profesionalitas. Di Jawa, misalnya, diskursus becik ketitik ala ketara, sepi ing pamrih rame ing gawe, dan juga ora ngoyo, perlu dibangun dan dikomunikasikan ke dalam interaksi komunikasi sehari-hari. Bahkan, jika perlu digaungkan sebuah slogan yang bersifat mengingatkan pimpinan agar selalu menjaga integritasnya. Misalnya sebuah slogan yang berbunyi, “Kami bangga jika pimpinan kami tidak korupsi”. Slogan tersebut dapat dipampang di lobi utama kantor dan juga di pintu masuk ruang pimpinan. Terkadang tidak mudah hanya untuk memasang slogan tersebut, karena dikhawatirkan pimpinan akan merasa tersinggung dan seolah tidak dipercaya. Namun, hal itu dapat ditempuh dengan cara menjelaskan kepada pimpinan secara elegan yang dilakukan oleh para tokoh infor-mal institusi yang mengatasnamakan seluruh anggota institusi.

Jika cara tersebut dapat dilakukan, sebuah institusi akan membuktikan diri-nya bahwa budaya antikorupsi tidak ha-nya bersifat tertutup dan eliteis. Dengan demikian, budaya antikorupsi dapat ber-kembang nyaman dan alami, karena tidak eliteis dan lebih demokratis. Slogan ‘Berani Jujur Hebat!’ mungkin lambat laun akan berganti menjadi ‘Kami Tidak Takut Untuk Jujur!’.